Potensi RI jadi Primadona di Tengah Pergeseran Peta Investasi Dunia

Agustiyanti
26 Oktober 2020, 20:02
investasi, relokasi pabrik tiongkok, BKPM, investasi jepang, investasi asing, relokasi pabrik
Thampapon Otavorn/123rf
Ilustrasi. Banyak perusahaan asal Jepang dan AS yang memilih untuk merelokasi bisnis mereka dari Tiongkok.

Pandemi Covid-19 dan perang dagang  membuat investor global berbondong-bondong merelokasi bisnisnya dari Tiongkok ke sejumlah negara, salah satunya kawasan Asia Tenggara. Indonesia harus bersiap menangkap peluang investasi, agar tak kembali tertinggal.

Pimpinan Lembaga Konsultan Global PwC di AS, Tim Ryan memperkirakan perusahaan-perusahaan asal AS akan terus merelokasi bisnis mereka dari Tiongkok. Ini dilakukan terlepas siapa pemenang pemilihan presiden pada 3 November mendatang.

"Covid-19 benar-benar membuat investor menaruh perhatian pada rantai pasokan. Bagaimana mengurangi risiko dari rantai pasokan yang sebelumnya tidak menjadi perhatian sekarang adalah fokus utama," ujar Ryan pada Jumat (23/10) dikutip dari CNBC.

Ryan menjelaskan, relokasi perusahaan-perusahaan AS dari Tiongkok akan memberikan keuntungan bagi negara-negara Asia Tenggara, Meksiko, dan Amerika Serikat sendiri.

Survei yang dilakukan Statista pada pertengahan 2020 menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan asal AS sudah mulai memidahkan bisnis dari Tiongkok. Sekitar 15% perusahaan yang disurvei mengatakan mereka telah memindahkan setidaknya sebagian dari operasionalnya ke luar Tiongkok.

Menurut Dewan Bisnis AS-Tiongkok, sebagian besar dari perusahaan-perusahaan tersebut memutuskan untuk pindah ke tempat lain dengan tujuan paling populer adalah Thailand dan Meksiko. Hanya sebagian kecil yang memutuskan kembali ke AS.

Selain perang dagang dan masalah rantai pasokan, Tiongkok saat ini menjadi pilihan yang kurang kompetitif untuk semua produsen. Saat negara berkembang, upah meningkat dan peraturan menjadi lebih ketat, membuat lokasi lain tampak lebih menarik.

Survei juga menunjukkan perusahaan yang memutuskan untuk mengurangi atau menghentikan rencana investasi ke Tiongkok pada pertengahan tahun ini meningkat dari 17% pada pertengahan tahun lalu menjadi 24%.

Bukan hanya perusahaan-perusahaan asal AS, relokasi industri dari Tiongkok tengah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan Jepang. Negara ekonomi terbesar kedua di dunia ini mengiming-imingi industrinya untuk merelokasi pabrik dari Tiongkok untuk mengurangi ketergantungan pada manufaktur Negara Tembok Raksasa itu.

Subsidi diberikan kepada perusahaan yang merelokasikan pabriknya kembali ke Jepang atau sejumlah negara, antara lain negara-negara di kawasan ASEAN, India, dan Bangladesh.

Mengutip Bloomberg, hingga pertengahan Juli 2020, terdapat 57 perusahaan termasuk produsen masker wajah Irish Ohyama Inc dan Sharp Corp akan menerima subsidi mencapai 57,4 miliar yen atau setara Rp 8 triliun karena kembali berproduksi di Jepang. Sementara 30 perusahaan lainnya akan menerima subsidi untuk investasi di negara-negara Asia Tenggara.

Indonesia dan Vietnam 'Primadona' ASEAN

Di antara negara-negara ASEAN, perhatian khusus saat ini diberikan Jepang kepada Indonesia dan Vietnam. Ini terbukti dari dipilihnya kedua negara sebagai tujuan pertama lawatan  Perdana Menteri Jepang yang baru terpilih, Yoshihide Suga ke luar negeri pada pekan lalu

Kepala Ekonom BCA David Sumual menjelaskan, lawatan PM baru Jepang mengindikasikan minat besar negara tersebut untuk berinvestasi di Indonesia. Apalagi Jepang tengah mendorong agar industrinya melakukan diversifikasi agar tak bergantung pada Tiongkok.  "Waktu Wuhan ditutup, banyak perusahaan Jepang yang tidak bisa beroperasi sehingga mereka mendorong industrinya untuk diversifikasi," kata David. 

Selain Jepang, potensi investasi juga datang dari perusahaan-perusahaan asal AS yang tengah terhimpit dengan hubungan memanas antara Trump dengan Tiongkok. Namun terlepas dari pandemi dan perang dagang, menurut David, investasi di Tiongkok sejak lama terbebani oleh upah buruh yang lebih mahal. "Dalam lima tahun terakhir, upah buruh manufaktur Tiongkok naik dan sudah di atas ASEAN," katanya. 

Tiongkok saat ini juga mulai mencari investasi yang memiliki teknologi tinggi dan ramah lingkungan. Selain itu, negara ini tengah berupaya mengubah struktur pertumbuhan ekonomi agar ke depan ditopang oleh permintaan domestik dan tak bergantung pada invetasi.

"Ini akan membuat investasi dari Tiongkok mengalir ke negara-negara lain. Tentu peluang besar bagi Indonesia, tinggal seberapa cepat menangkapnya," ujar David. 

David menilai Indonesia sangat menjanjikan dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, bahkan dengan Vietnam. Meski diproyeksi bakal mencatatkan pertumbuhan tertinggi  di kawasan pada tahun ini, investasi di Vietnam sebenarnya sudah mulai menghadapi hambatan. 

Bank Dunia memproyeksi ekonomi Vietnam pada tahun ini akan tumbuh 1,6%. Sementara Indonesia diperkirakan negatif 1,5%, Malaysia minus 6%, Thailand minis 7,1%, dan Filipina minus 8,3%. 

"Vietnam memang menarik. Tapi tidak semua investasi akan masuk ke sana. Mereka juga sudah mulai mengalami bottleneck di pelabuhan sebelum pandemi, sedangkan kita  dalam beberapa tahun terakhir banyak membangun infrastruktur, terutama pelabuhan," katanya. 

Selain itu, investor juga mencari lokasi yang dekat dengan sumber bahan baku. Dalam hal ini, Indonesia mengang dibandingkan Vietnam lantaran memiliki sumber daya alam yang lebih berlimpah. 

Sementara Thailand yang selama ini juga menjadi salah satu negara tujuan investasi di ASEAN tengah menghadapi masalah politik. Demonstrasi yang melibatkan puluhan ribu orang sudah terjadi berbulan-bulan di Negara Gajah tersebut, menuntut pembentukan konstitusi baru, dan pengurangan kekuasaan monarki dalam pemerintahan. 

David optimistis Indonesia tak akan 'ketinggalan kereta' lagi seperti yang terjadi pada tahun lalu saat 33 perusahaan merolakasi investasi dari Tiongkok. Undang-undang Cipta Kerja yang telah disahkan DPR, menurut David, akan mendorong investor memiliki Indonesia sebagai tujuan investasi. 

"Satu bulan ini aturan turunan omnibus law akan selesai. Kalaupun pakai asumsi pesimis rampung tiga bulan, tahun depan investasi sudah bisa masuk, apalagi dengan keyakinan masyarakat yang sudah meningkat setelah vaksin tersedia," ujarnya. 

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia optimistis realisasi investasi pada tahun depan akan meningkat pesat berkat UU Cipta Kerja. "Realisasi investasi pada tahun depan pasti lebih tinggi dibandingkan 2020. Kami sudah punya cadangan, ada 153 perusahaan yang siap masuk tahun 2021," ujar Bahlil saat Konferensi Pers Realisasi Investasi Kuartal III 2020 melalui Konferensi Video pada Jumat (23/10). 

Pada tahun depan, menurut Bahlil, industri baterai listrik terbesar dunia juga akan mulai dibangun di Indonesia. Selain industri besar, Bahlil memperkirakan investasi industri menengah dan UMKM juga lebih bergairah pada tahun depan berkat sejumlah kemudahan dalam UU Cipta Kerja.

Sepanjang Januari-September 2020, BKPM mencatat realisasi investasi telah mencapai Rp 611,6 triliun atau 74,8 persen dari target tahun ini. Bahlil optimistis target investasi sebesar Rp 817,2 triliun bakal terealisasi. 

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...