Rapor APBN 2020: Penerimaan Negara Turun 16,7%, Defisit 6,09% PDB
Pemerintah mencatat penerimaan negara mencapai Rp 1.633,6 triliun atau meleset dari target sebesar Rp 1.699,9 triliun. Meski target penerimaan meleset, realisasi belanja lebih rendah yakni Rp 2.589,9 triliun atau 94,6% dari pagu. Alhasil, defisit anggaran berada di bawah target sebesar 6,34% terhadap Produk Domestik Bruto.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan, penerimaan negara terkontraksi 16,7% atau turun Rp 327 triliun dibandingkan 2019. Jika dibandingkan APBN awal, penurunannya bahkan mencapai Rp 599 triliun. Sementara belanja negara naik 12,2% dibandingkan 2019, meski realisasinya dari pagu lebih rendah.
"Defisit APBN mencapai 956,3 triliun atau 6,09% terhadap PDB, angka ini lebih baik dibandingkan Perpres 72 sebesar Rp 1.039 triliun. Namun, defisit ini jauh lebih besar dari APBN awal yang kita desain dalam kondisi sehat yakni 1,76% terhadap PDB," ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Realisasi Pelaksanaan APBN TA 2020, Rabu (6/1).
Sri Mulyani menjelaskan, APBN semula didesain lebih sehat tetapi mampu menunjang ekonomi dengan defisit APBN tetapi keseimbangan primer yang mendekati nol. Namun, pandemi Covid-19 mengubah keadaan.
Target penerimaan negara dua kali dipangkas dari APBN awal mencapai Rp 532,2 triliun, sedangkan anggaran belanja negara justru naik untuk memenuhi kebutuhan penanganan Covid-19 mencapai Rp 429,9 triliun.
Meski target penerimaan negara telah dipangkas, realisasinya masih lebih rendah dari yang diharapkan. "Ini adalah syok yang terjadi karena penerimaan pajak yang turun dan insentif yang diberikan kepada sektor usaha," katanya.
Penerimaan pajak hanya mencapai 89,3% dari target atau terealisasi Rp 1.070 triliun. Kepabeanan dan cukai mencapai 103,5% dari target sebesar Rp 212,8 triliun, sedangkan penerimaan negra bukan pajak mencapai 115,1% dari target atau Rp 38,5 triliun. Sementara itu, penerimaan hibah mencapai 945,8 dari target atau Rp 12,1 triliun.
Sementara itu, belanja negara pada tahun lalu masih meningkat dibandingkan 2019 meski realisasinya lebih rendah dari harapan. Sri Mulyani pada awal Desember lalu memproyeksi belanja negara sepanjang 2020 akan terealisasi Rp 2.639,8 triliun atau 96,4% target.
Realisasi belanja negara pada 2020 terutama didorong oleh belanja pemerintah pusat yang naik 22,1% mencapai Rp 1.827,4 triliun. Meski demikian, realisasi ini hanya 92,5% dari target dalam Perpres 72.
Secara perinci, realisasi belanja Kementerian/Lembaga mencapai 126,1% dari target atau Rp 1.055 triliun, sedangkan belanja non-KL hanya mencapai 67,8% dari target atau Rp 772 triliun.
Sementara itu, realisasi transfer ke daerah dan dana desa mencapai 99,8% dari target atau Rp 762,5 triliun. Secara perinci, realisasi transfer ke daerah mencapai Rp 691,4 triliun atau 99,8% dari target, sedangkan realisasi dana desa mencapai Rp 71,1 triliun atau 99,9% dari target.
"TKDD mengalami penurunan 6,2% dibandingkan 2019, tetapi penurunan ini lebih rendah dari penurunan pendapatan negara yang sangat tajam 16,7%. Seharusnya TKDD mengikuti penerimaan negara tetapi kami menjaga agar daerah tidak mengalami syok," katanya.
Adapun hingga akhir 2020, terdapat sisa lebih penggunaan anggaran atau SILPA sebesar Rp 234,7 triliun. Dari total SILPA tersebut sebesar Rp 66,75 triliun agan digunakan untuk dukungan dunia usaha melalui perbankan, serta Rp 50,9 triliun akan dialihkan untuk penanganan kesehatan dan PEN lainnya pada 2021.
Sejumlah ekonom sebelumnya memproyeksi pemerintah tak akan merealisasikan seluruh belanja sehingga defisit anggaran tak membengkak dari target meski penerimaan pajak meleset. Kepala Ekonom BCA David Sumual menilai realisasi belanja yang tak sesuai harapan akan berpengaruh pada ekonomi kartal keempat.
"Ini sebenarnya tidak bagus karena mengulang siklus tahun-tahun sebelumnya. Padahal, belanja pemerintah sangat dibutuhkan untuk mendorong ekonomi dalam kondisi saat ini," katanya.
Ekonomi dalam tiga bulan terakhir ini akan terkontraksi meski lebih baik dibandingkan kuartal ketiga. Konsumsi pemerintah tetap akan menjadi penopang dengan kontribusi lebih besar dibandingkan kuartal ketiga meski tak sesuai harapan.
Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah juga memperkirakan kekurangan APBN tidak akan melewati target Rp 1.039,2 triliun atau 6,34% PDB. "Walaupun akan ada kenaikan belanja vaksin tetapi realisasi anggaran secara keseluruhan jauh di bawah perencanaan," kata Piter kepada Katadata.co.id, Senin (21/12).