Badan Konsumen Tolak Kenaikan Tarif PPN, Anggap Lemahkan Daya Beli
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) meminta pemerintah menunda rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN). Alasannya masyarakat saat ini masih kesulitan ekonomi menghadapi pandemi Covid-19.
Ketua BPKN Rizal Edy Halim mengatakan banyak anggota masyarakat yang terkena pemutusan hubungan kerja, penurunan upah, hingga bangkrut. "Apabila pemerintah menaikan tarif PPN akan menyebabkan kenaikan harga barang sehingga daya beli semakin tertekan," kata Rizal dalam diskusi virtual, Selasa (11/5).
Harga barang yang tinggi, sambung dia, akan menyebabkan kenaikan inflasi semu. "Sama seperti di Arab Saudi ada inflasi bukan karena permintaan yang tinggi dan ini akan menekan pertumbuhan ekonomi," ujar dia.
Target pemulihan ekonomi pun kemungkinan akan terhambat tercapai pada kuartal I 2021. Sehingga dia mengusulkan pemerintah menunda sementara rencana itu sampai situasi penanganan pandemi bisa relatif terkendali dan kepercayaan diri masyarakat sudah mulai tumbuh.
Kendati begitu, dia menilai kebijakan menaikkan tarif PPN tidak salah lantaran situasi fiskal yang butuh kesinambungan, tapi hanya waktunya yang tidak tepat jika diterapkan saat ini.
Namun, dari sisi psikologis sosial, kebijakan tersebut menunjukkan anggapan pemerintah yang tidak peka. "Sense of crisis-nya tidak ada, kan begitu," ujarya.
Direktur Eksekutif Instite for Development of Economics and Finance Tauhid Ahmad meminta rencana pemerintah menaikkan tarif PPN perlu dikaji ulang. "Kalau perlu dibatalkan karena memang sampai 2022 sekalipun bahkan 2023 kita masih dalam periode pemulihan ekonomi," kata Tauhid dalam kesempatan yang sama.
Selain itu, dia menyebutkan bahwa belum ada satu pun orang yang mengetahui kapan pandemi ini selesai. Dengan demikian, hal tersebut menjadi sesuatu yang kritis sehingga jangan sampai masyarakat justru dirugikan.
Tauhid menjelaskan, kenaikan tarif PPN otomatis akan membuat harga produk konsumsi termasuk impor semakin mahal. Dengan begitu, masyarakat akan mengurangi volume barang-barang yang dikonsumsi dan implikasinya penerimaan negara pun turun dari impor.
Saat ini Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan sedang mengkaji dua skema yang akan dipakai dalam menentukan kenaikan tarif tersebut. Dua skema tersebut yakni single (tunggal) dan multi tarif. "Secara teoritis begitu, semua masih dalam kajian," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Neilmaldrin Noor kepada Katadata.co.id, Selasa (11/5).
Tarif tunggal ini merupakan penerapan satu tarif PPN yang berlaku untuk semua objek PPN. Bila menggunakan skema ini, ketentuan tarif PPN berada di rentang 5%-15%, sesuai Undang-Undang Nomor 46 tahun 2009 tentang PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM). "Tetapi masih dalam pembahasan terkait itu," ujar dia.
Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menjelaskan munculnya rencana kenaikan PPN karena saat ini pemerintah membutuhkan pendanaan yang besar untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
"Belanja negara mengalami peningkatan karena kita memerlukan pengeluaran yang ditujukan untuk penyehatan masyarakat, menjaga masyarakat khususnya di sisi kesehatan. Kemudian yang kedua menjaga supaya ekonominya paling tidak bertahan," kata Suryo kepada wartawan, Senin (10/5).
Pandemi membuat penerimaan negara tergerus. Kementerian Keuangan mencatat, realisasi penerimaan pajak 2020 mencapai Rp 1.069,98 triliun, turun 19,71% dibandingkan 2019 yang mencapai Rp 1.332,1 triliun.
Penerimaan dari kepabeanan dan cukai juga turun tipis 0,33% menjadi Rp 212,8 triliun. Kemudian, penerimaan negara bukan pajak anjlok 17,24% menjadi Rp 338,5 triliun. Secara keseluruhan, realisasi pendapatan negara pada tahun lalu sebesar Rp 1.633,6 triliun, menyusut 16,7% dibanding 2019 yang mencapai Rp 1.960,6 triliun. Berikut grafik Databoks: