Bos JPMorgan: Gagal Bayar Utang Pemerintah AS Malapetaka bagi Ekonomi
Perusahaan finansial dan investasi global, JPMorgan Chase & Co., mulai bersiap untuk menghadapi kemungkinan penutupan pemerintahan (government shutdown) dan default atau gagal bayar utang pemerintah Amerika Serikat. Bos JPMorgan Jamie Dimon menyebut gagal bayar ini akan menjadi malapetaka bagi perekonomian.
Pemberi pinjaman terbesar di Amerika ini bahkan telah merumuskan skenario bagaimana gagal bayar utang akan memukul pasar keuangan, mempengaruhi kontrak-kontrak dengan kliennya, rasio permodalan, dan bagaimana perusahaan pemeringkat akan bereaksi.
“Ini (default) berpotensi menjadi malapetaka. Setiap isu utang mengemuka pasti selalu dapat diatasi. Tapi seharusnya tidak sampai seperti sekarang ini. Saya pikir ini semua salah dan suatu hari kita harus memiliki RUU bipartisan dan menyingkirkan plafon utang. Ini semua politik,” ujar Dimon dikutip Reuters, Rabu (29/9).
Partai Demokrat kini tengah berjuang menemukan cara untuk menaikkan plafon utang pemerintah yang telah mencapai US$ 28,4 triliun (lebih Rp 404.500 triliun), sebelum Departemen Keuangan kehabisan dana untuk melunasi utang itu.
Menteri Keuangan Janet Yellen mengatakan bahwa pihaknya kemungkinan akan kehabisan cara dan dana untuk membayar utang tersebut pada 18 Oktober mendatang.
Oposisi pemerintahan Joe Biden, Partai Republik, pun menentang RUU untuk menaikkan plafon utang, untuk mencegah penutupan pemerintahan (government shutdown) dan potensi gagal bayar utang AS yang dapat melumpuhkan perekonomian. Simak databoks berikut:
Pada pemungutan suara awal pekan ini, Senin (27/9), Partai Republik berhasil menggagalkan RUU tersebut. Isu fiskal telah menjadi isu politik di AS selama satu dekade terakhir berkat polarisasi partisan yang terjadi, dengan kesepakatan plafon utang mulai berlaku pada 2011 dan 2017.
Bloomberg awal pekan ini melaporkan bahwa Menteri Keuangan Yellen telah memanggil para bos-bos bank besar di Wall Street untuk meminta bantuan mereka dalam menekan Partai Republik agar menyetujui kesepakatan batas utang. Departemen Keuangan menolak mengomentari laporan tersebut.
Dimon mengatakan sebagai bagian dari persiapannya, bank sedang menyisir kontrak kliennya. Ini merupakan upaya yang membutuhkan sumber daya besar. “Anda harus memeriksa kontrak untuk mencoba memprediksinya. Jika saya ingat dengan benar, terakhir kali kami bersiap untuk ini, kami menghabiskan US$ 100 juta," katanya.
Mengutip Washington Post, Kepala Ekonom Moody’s Analytics Mark Zandi menilai, kebuntuan berkepanjangan atas plafon utang akan merugikan ekonomi AS hingga 6 juta pekerja, memangkas pendapatan rumah tangga hinga US$ 15 triliun, dan mengirim tingkat pengangguran melonjak menjadi 9% dari saat ini 5%.
“Skenario ekonomi ini adalah bencana besar. Penurunan yang ditimbulkan akan sebanding dengan yang diderita selama krisis keuangan tabun 2008,” demikian tertulis dalam laporan Zandi dan Bernard Yaros, Asisten Direktur dan Ekonom Moody’s Analytics.