Perpres Nilai Ekonomi Karbon Diteken, Dukung RI Jadi Negara Maju 2045
Presiden Joko Widodo telah mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) terkait Nilai Ekonomi Karbon (NEK) yang juga telah disampaikan dalam KTT PBB terkait Perubahan Iklim edisi 26 (COP26) di Glasgow, Inggris. Kementerian Keuangan menilai kebijakan ini dinilai dapat mendukung cita-cita Indonesia menjadi negara maju pada 2045.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menjelaskan bahwa NEK merupakan kebijakan penangana perubahan iklim berbasis pasar. NEK kemudian juga umum dikenal sebagai carbon pricing.
Ia menjelaskan, secara umum carbon pricing terdiri atas dua mekanisme penting yaitu perdagangan karbon dan instrumen non-perdagangan. Instrumen perdagangan terdiri atas cap and trade serta offsetting mechanism. Sedangkan instrumen non-perdagangan mencakup pungutan atas karbon dan pembayaran berbasis kinerja atau result-based payment (RBP).
"Penetapan Perpres tentang NEK ini merupakan tonggak penting dalam menetapkan arah kebijakan Indonesia menuju target NDC 2030 dan nol karbon pada 2060, sebagai bagian dari ikhtiar menuju Indonesia Emas tahun 2045," kata Febrio dalam keterangan resminya, Senin (1/11).
Ia mengatakan pemerintah memerlukan inovasi dalam merancang kebijkana untuk mendukung NDC 2030, salah satunya melalui carbon pricing ini. NDC alias Nationally Determined Contributions merupakan dokumen yang berisi komitmen setiap negara terkait penurunan emisi karbonnya. Indonesia sendiri berkomitmen mencapai target pengurangan karbon 29% pada tahun 2030 dengan upaya sendiri dan 41% dengan bantuan internasional.
Febrio mengklaim dengan aturan NEK ini, Indonesia merupakan negara yang pertama kali mengimplementasikan penanggulan perubahan iklim berbasis pada pasar. Hal ini diharapkan akan mendorong minat investasi hijau global semakin deras masuk ke Indonesia, di samping kesempatan untuk memperoleh pembiayaan berbiaya rendah.
Sebelum menerbitkan aturan NEK, pemerintah juga telah memasukkan pajak karbon dalam beleid baru perpajakan. Febrio menyebut implementasi pajak karbon menjadikan Indonesia sejajar dengan sejumlah negara maju seperti Inggris, Jepang dan Singapura.
"Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara yang menerapkan pajak karbon, bahkan yang terbesar di negara berkembang yang akan mengimplementasikannya lebih dahulu," kata Febrio.
Dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan perpajakan (UU HPP) yang disahkan oleh DPR bulan lalu, implementasi pajak karbon akan dimulai pada April 2022 dengan uji coba pertama pada PLTU batu bara. Adapun untuk penerapannya nanti akan berlaku dua skema yakni skema perdagangan carbon (cap and trade) dan skema pajak karbon (cap and tax).
Pada skema perdagangan karbon, entitas yang menghasilkan emisi lebih dari cap diharuskan membeli sertifikat izin emisi (SIE) entitas lain yang emisinya di bawah cap. Selain itu, entitas juga dapat membeli seritifikat penurunan emisi (SPE).
Namun jika entitas tersebut tidak dapat membeli SIE atau SPE secara penuh atas kelebihan emisi yang dihasilkan, maka berlaku skema kedua cap and tax, yakni sisa emisi yang melebihi cap akan dikenakan pajak karbon.
Ketentuan pajak karbon ini berlaku tarif lebih tinggi atau sama dengan harga di pasaran. Tetapi pemerintah juga menetapkan tarif minimum sebesar Rp 30 per Kg CO2 atau Rp 30.000 per ton CO2 ekuivalen.