Hadapi Perubahan Iklim, Sri Mulyani Dorong Pembangunan Pajak Karbon
Indonesia sedang menghadapi sejumlah tantangan seiring dengan semakin dekatnya hajat Pemilu 2024 serta adanya perlambatan ekonomi. Selain itu pula, Indonesia juga menghadapi ancaman climate change atau perubahan iklim.
Guna mengantisipasi hal tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani mendorong berbagai respon atau kebijakan dari sisi instrumen fiskal seperti membangun pasar karbon dan pajak karbon yang dilakukan secara bertahap demi mencapai target Net Zero Emission pada 2060
"Kemenkeu termasuk institusi yang cukup aktif melakukan engagement untuk membantu membangun fondasi bagi antisipasi dampak climate change yang luar biasa bagi umat manusia," kata Sri Mulyani dalam acara bertajuk Bisnis Indonesia 2024 Business Challenges di Jakarta, Kamis (23/11).
Sekedar informasi, pajak karbon merupakan pungutan atau denda yang harus dibayar oleh pihak - pihak yang memakai bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Sementara pasar atau perdagangan karbon adalah pembelian dan penjualan kredit yang mengizinkan entitas atau perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah karbon dioksida.
Tak hanya mengembangkan pasar dan pajak karbon, Sri Mulyani juga mendorong negoisasi internasional untuk mendapatkan dukungan global dalam penurunan emisi karbon di Indonesia. Hal ini dibarengi dengan pembentukan ETM Country Platform untuk membiayai transisi energi menggunakan mekanisme blended finance dalam meningkatkan penggunaan energi terbarukan.
“Kemudian untuk mengendalikan peranan dari energi yang berasal dari fossil fuels sehingga Indonesia bisa tetap tumbuh tinggi dan emisi makin menurun dan bisa diturunkan, ini area yang masih akan berkembang banyak,” ujar Sri Mulyani.
Tak hanya itu, pihaknya juga akan menghadiri Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) di Dubai pada pekan depan. Salah satunya akan membahas pendanaan untuk agenda keberlanjutan.
“Mobilitas pendanaan untuk agenda climate change, adalah sesuatu yang luar biasa penting,” kata Sri Mulyani
Diberitakan sebelumnya, Sri Mulyani sempat menyampaikan terkait konsekuensi keuangan yang dihadapi jika perubahan iklim tidak diantisipasi, maka bisa sangat besar. Namun, biaya yang dibutuhkan juga tidak sedikit.
Ia menyebutkan, sebanyak 60% pembangkit listrik di Indonesia masih berbasis batu bara yang menghasilkan emisi dalam jumlah besar. Dengan kondisi tersebut, maka tidak akan mudah mengurangi emisi karbon di Indonesia.
"Saya sering banget ngomongin tentang climate change, karena tidak mungkin bisa mengantisipasinya tanpa disiapkan dari sekarang untuk menangani berbagai langkah," ujarnya.
Walaupun begitu, ia tetap menekankan adanya kolaborasi dan kerja sama dengan negara lain dalam menghadapi perubahan iklim, sama seperti saat mengatasi pandemi Covid-19. Dengan pemerintah tetap memprioritas kepentingan dalam negeri.