3 Capres Janjikan Insentif Pajak untuk Raih Suara Pemilu 2024
Insentif pajak menjadi salah satu program yang ditawarkan oleh tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam kampanye Pemilu 2024. Hal ini tertera dalam dokumen visi dan misi para kandidat, yang telah dipublikasikan.
Pasangan Capres dan Cawapres nomor urut 1, Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar misalnya, berencana memastikan tax holiday dan tax allowance dilaksanakan secara terencana dan terkendali.
"Kami juga akan mempermudah proses memulai dan menjalankan usaha, termasuk dalam hal pembayaran pajak," tulis dokumen visi dan misi Anies-Cak Imin, dikutip pada Senin (11/12).
Sementara, pasangan Capres dan Cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka menggulirkan beberapa janji insentif pajak. Misalnya, keringanan pajak untuk klub olahraga, pemangkasan tarif PPh Pasal 21, dan menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak atau PTKP.
Kemudian, pembebasan pajak selama dua tahun untuk UMKM yang baru berdiri dan terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk semua jenis buku, serta membuat pajak royalti menjadi bersifat final.
Adapun, pasangan capres dan cawapres nomor urut 3, Ganjar Pranowo - Mahfud MD, menjanjikan adanya insentif atau subsidi bagi pelaku usaha yang mendorong kegiatan riset. Sementara Ganjar - Mahfud menjanjikan insentif pajak untuk perusahaan rintisan atau start-up.
Selain itu, pasangan calon ini juga akan mengucurkan insentif pajak dan dukungan keuangan khusus, terutama di wilayah Papua. Keduanya ingin adanya pemerataan pembangunan ekonomi dan perbaikan taraf hidup bagi warga di sana.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, program insentif untuk riset dan pengembangan (R&D) dari Ganjar memang diperlukan, karena ada biaya dan risiko ditanggung jika riset itu tidak berhasil dan tak ada insentif korporasi.
"Dampak R&D ke masyarakat juga besar. Sebagai negara berkembang, kita memang butuh banyak R&D untuk dapat mengejar negara maju. Jadi sudah seharusnya diberikan insentif. Dan kita lihat best practice, memang yang terbaik adalah memberikan insentif ke R&D," kata Fajry kepada Katadata.co.id, Sabtu (9/12).
Sebelumnya, pemerintah telah merilisi kebijakan insentif pajak hingga 300% bagi peneliti. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 153/PMK.010/2020 Tentang Pemberian Pengurangan Penghasilan Bruto Atas Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Tertentu di Indonesia.
Insentif Pajak untuk Papua
Begitupula soal Papua, Fajry meyakini insentif pajak ini dapat mendorong pengembangan daerah tertinggal, namun harus dibarengi desain yang baik. Misalnya, berkaca pada ketimpangan ekonomi di wilayah barat dan timur China.
"Kita ketahui, wilayah timur China yang berpapasan dengan laut, ekonominya maju sekali. Sebaliknya untuk wilayah barat. Untuk itu, pemerintah China berikan insentif bagi yang berinvestasi di wilayah barat China, agar perbedaan ekonomi barat dan timur tidak jauh berbeda," ujar Fajry.
Berkaca dari kasus China, Papua sebagai salah satu wilayah Indonesia yang secara ekonomi tertinggal, menurut Fajry, perlu mendapatkan insentif fiksal dari pemerintah agar tidak terlalu timpang dengan daerah lain.
Kemudian untuk program Anies, lebih ke arah evaluasi tax holiday dan tax incentive, sehingga perlu ditinjau secara berkala. Lalu untuk Pak Prabowo, menjadikan royalti penulis menjadi pajak final, sebagai sesuatu yang bisa diimplementasikan.
Adapun Pengamat Perpajakkan, Prianto Budi Saptono menilai, insentif tax holiday dan tax allowance yang ditetapkan di UU Penanaman Modal (UU No. 25/2007) sudah dianulir dengan UU Cipta Kerja Nomor 6 Tahun 2023.
"Jadi, penyusun UU harus merevisi lagi aturan tentang tax holiday dan tax allowance," kata dia.
Menurutnya, insentif pajak bisa berasal dari UU pajak dan UU APBN, sehingga pemerintahan nanti dapat memanfaatkan insentif pajak sesuai dua aturan itu. Bahkan, insentif di luar pajak juga dimungkinkan menjadi pilihan pemerintah di tengah masyarakat dalam bentuk kebijakan publik.
Tak Sejalan Visi Pemerintahan Jokowi
Namun rencana Prabowo-Gibran untuk menurunkan tarif PPh 21 dinilai tidak sejalan dengan visi pemerintahan Jokowi yang ingin menaikkan kontribusi PPh 21. Fajry bahkan menyebut, rencana mereka tidak memiliki arah kebijakan fiskal yang jelas.
“Pemerintah kemarin naikan tarif PPh 21 bagi orang kaya, lalu ada pajak atas natura. Semua itu untuk meningkatkan kontribusi penerimaan PPh 21 orang pribadi dalam struktur penerimaan pajak,” kata Fajry.
Apalagi, tarif PPh 21 memiliki beberapa lapis karena besaran tarif bergantung tingkat pendapatan. Sedangkan pasangan capres dan cawapres ini tidak menjelaskan, tarif pada lapisan mana yang akan diturunkan.
“Jadi, yang mau diturunkan lapisan tarif yang mana? Jelas, ini rencana kebijakan yang ngawur,” kata Fajry.
Peningkatan batas PTKP juga mendapat sorotan. Fajry menilai, peningkatan PTKP terlihat sebagai kebijakan yang pro-rakyat, tetapi kenyataanya kelompok berpendapatan menengah yang justru paling menikmati.
Senada, Prianto memperkirakan, jika PTKP naik dan tarif PPh 21 turun, ada potensi penurunan penerimaan pajak. Jika dilihat faktor PPh 21 saja, secara otomatis rasio pajak berpotensi akan turun.
“PPh 21 tersebut sebenarnya lebih fokus ke penghasilan karyawan yang notabene terbatas. Dengan demikian, kontribusi kebijakan tersebut sepertinya tidak signifikan bagi peningkatan rasio pajak,” kata Prianto.
Menurut Prianto, selama ini pemerintah sudah mencoba berbagai kebijakan untuk menaikkan rasio pajak. Pada kenyataannya, rasio pajak terus turun. Bentuk kebijakan yang telah ditempuh seperti kenaikan PTKP, perubahan tarif PPh dan tarif PPN, amnesti pajak, PPS, dan sunset policy.
“Jadi, aspek yang mempengaruhi rasio pajakitu tidak hanya sebatas penghasilan karyawan yang terbatas dan menjadi objek PPh 21 serta ada pengurangan berupa PTKP. Selama ini, peningkatan rasio pajak berfokus pada peningkatan kepatuhan pajak,” kata Prianto.
Secara sederhana, kepatuhan pajak itu terdiri dari kepatuhan formal berupa tepat waktu ketika setor dan lapor pajak, dan kepatuhan material. Prianto menilai kepatuhan pajak dari aspek material merupakan urusan yang kompleks.
“Makanya, otoritas pajak harus menegakkan aturan pajak, baik penegakan hukum administratif dan penegakan hukum kriminal. Urusan penegakan hukum pajak tersebut juga harus menempuh jalan panjang karena terjadi sengketa pajak yang tidak sederhana dan tidak berbiaya murah,” kata Prianto.