Dolar AS Makin Perkasa, Rupiah Dibuka Melemah ke Level Rp 15.525

 Zahwa Madjid
9 Januari 2024, 09:45
Rupiah
ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/tom.
Petugas menyusun uang pecahan rupiah di Kantor Cabang BSI KC Mayestik, Jakarta, Kamis (28/12/2023). Nilai tukar rupiah ditutup di level Rp15.418 per dolar AS pada Kamis (28/12), dimana mata uang Garuda menguat 12 poin atau naik 0,08 persen dari penutupan perdagangan sebelumnya.
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah 0,06% ke level 15.525 per dolar Amerika Serikat pada perdagangan Selasa (9/1). Mata uang rupiah ditutup melemah 9 poin pada akhir perdagangan Senin (8/1).

Padahal, rupiah sebelumnya sempat menguat 8 poin di level 15.525 dari penutupan sebelumnya 15.516. Pengamat pasar uang, Ariston Tjendra menilai, rupiah masih mengalami konsolidasi terhadap dolar AS pada hari ini.

“Pasar masih menunggu konfirmasi dari data inflasi konsumen AS yang akan dirilis Kamis malam, untuk proyeksi pemangkasan suku bunga acuan AS ke depan,” ujar Ariston kepada Katadata.co.id, Selasa (9/1).

Ariston menyebut, data tenaga kerja AS yang dirilis pekan lalu cenderung membaik, atau sedikit banyak menurunkan ekspektasi terkait sinyal pemangkasan suku bunga Bank Sentra AS (The Fed) akan dilakukan lebih cepat.

“Kemudian tingkat imbal hasil obligasi pemerintah AS dan dolar AS juga menguat terhadap nilai tukar lainnya akibat penurunan ekspektasi tersebut,” ujarnya.

Namun rupiah masih dihadapkan dengan potensi pelemahan ke arah 15.550, dengan potensi penguatan di kisaran 15.480 pada hari ini.

Selain rupiah, sejumlah mata uang Asia pun melemah terhadap dolar AS. Melansir Bloomberg, baht Thailand melemah 0,28%, ringgit Malaysia melemah 0,23%, dolar Singapura melemah 0,08%, dan yuan Jepang melemah 0,48%.

Investor Masih Menunggu Keputusan The Fed

Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi menilai, para pelaku mengurangi taruhan akan sinyal The Fed akan memangkas suku bunga pada Maret 2024.

Gagasan ini diperburuk oleh data nonfarm payrolls (NFP) yang lebih kuat dari perkiraan pada hari Jumat. Hal ini menunjukkan ketahanan di pasar tenaga kerja yang memberikan ruang bagi The Fed untuk mempertahankan suku bunga lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama.

NFP merupakan data yang memuat perubahan jumlah tenaga kerja di semua sektor ekonomi di AS kecuali pegawai pemerintahan (PNS), pekerja rumah tangga, karyawan non-profit (LSM) dan pekerja sektor pertanian

Menurutnya, inflasi AS menjadi fokus setelah data nonfarm payrolls mengejutkan pasar. Kini mereka fokus pada data utama inflasi indeks harga konsumen (CPI) AS untuk bulan Desember, yang akan dirilis pada Kamis ini.

"Angka tersebut muncul setelah laporan gaji yang kuat, diperkirakan menunjukkan peningkatan inflasi dari bulan sebelumnya. Alat CME Fedwatch menunjukkan para pedagang menarik kembali ekspektasi mereka terhadap penurunan suku bunga di bulan Maret," ujar Ibrahim.

Selain itu, para investor sekarang memperkirakan peluang sekitar 63% untuk penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin pada bulan Maret, atau turun dari peluang lebih dari 73% yang diperkirakan pada minggu lalu.

Optimisme Memasuki Tahun Politik

Dari dalam negeri, Ibrahim menilai optimisme terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia tahun ini semakin meningkat di kalangan pengusaha dan masyarakat terlebih memasuki tahun politik.

“Indonesia memiliki orang-orang kapabel yang nantinya bisa menjalankan tugas dalam mengatur perekonomian Indonesia. Mereka diproyeksi akan mendukung siapa pun presiden yang terpilih pada Pemilu 2024 nanti,” ujar Ibrahim.

Ibrahim juga melihat, adanya perilaku unik dari para pebisnis atau investor yang ada di Indonesia pada 2024. Sebab, mereka menjalankan bisnis seperti biasa, dan tidak akan terganggu dengan berlangsungnya pemilu.

“Hal yang menarik dalam pemilu kali ini, adalah bahwa dunia usaha baik asing maupun konglomerat besar Indonesia tidak menyesuaikan perilaku investasi atau komersialnya karena pemilu,” ujarnya.

Bahkan selama 25 tahun terakhir, kata dia, dunia usaha baik dari Indonesia maupun asing cenderung berhenti atau berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi besar maupun keputusan komersial menjelang pemilu.

"Hal ini disebabkan karena adanya potensi perubahan kebijakan dari pemimpin yang terpilih," kata Ibrahim.

Reporter: Zahwa Madjid

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...