Ganjar Usul Anggaran Pertahanan Capai 2% dari PDB, Apa Bisa?
Calon Presiden (Capres) nomor urut 3, Ganjar Pranowo mengusulkan, agar Indonesia meningkatkan rasio anggaran pertahanan di kisaran 1%-2% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Dengan rasio anggaran militer tersebut, ganjar memperkirakan, Indonesia bisa mempunyai teknologi pertahanan "sakti" seperti rudal hipersonik hingga senjata siber.
"Kita harus pake 5.0 dengan teknologi sakti, dengan rudal hipersonik, senjata siber, sensor kuatum dan sistem senjata otonom. Dan itu bisa dilakukan kalau anggaran Kemenhan 1%-2% dari PDB," kata Ganjar dalam Debat Ketiga Capres di Istora Senayan, Jakarta, Minggu malam (7/1).
Usulan Ganjar ini cukup berbeda dengan strategi pemerintahan di era Susilo Bambang Yudhonoyo (SBY) dan Joko Widodo. Kedua pemimpin negara tersebut tetap menjaga anggaran pertahanan di bawah 1% terhadap PDB.
Adapun rasio belanja militer terhadap PDB pada era SBY berkisar 0,2%—0,9% per tahun, sedangkan era Jokowi 0,7—0,9% per tahun. Dengan begitu, rasio anggaran pertahanan dalam 20 tahun terakhir tetap di bawah 1%.
Lalu, Apakah Usulan Ganjar Menaikan Rasio Belanja Militer Bisa Terealisasi?
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, alokasi anggaran pertahanan saat ini sudah lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya, meskipun secara rasio relatif stabil di angka 0,7% hingga 0,9% dari PDB.
Jika dibandingkan dengan negara ASEAN lain, memang rasio tersebut lebih rendah dibandingkan negara lain. Namun secara nominal, menurut Josua, anggaran pertahanan Indonesia merupakan merupakan terbesar ke-2 di ASEAN, setelah Singapura.
"Melihat perbandingan tersebut, wajar jika pemerintah memiliki rencana untuk menaikkan rasio belanja pertahanan," kata Josua kepada Katadata.co.id, Rabu (10/1).
Namun demikian, kenaikan anggaran pertahanan juga harus dilakukan dengan hati-hati dan mampu menyeimbangkan kebutuhan Indonesia untuk memiliki sistem pertahanan yang memadai, tanpa mengorbankan kebutuhan lain yang juga sama pentingnya, seperti pendidikan dan kesehatan.
Selain itu, penyusunan anggaran pertahanan harus menyesuaikan dengan strategi pertahanan nasional Indonesia, namun tidak terbatas pada kuantitas dan kualitas alat utama sistem senjata (alutsista) milik Indonesia.
"Faktor lainnya seperti luas wilayah, jumlah penduduk, serta kondisi geopolitik di kawasan sekitar juga dapat menjadi faktor pertimbangan lainnya dalam menyusun anggaran pertahanan Indonesia," ujar Josua.
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad justru menilai, kenaikan anggaran pertahanan di level 1% masih memungkinkan. Tapi jika sudah menyentuh angka 2% akan sulit.
"Kalau 2% nggak realistis, kejar-kejaran dengan PDB dan pertumbuhan pendapatan negara. Ini akan memberi implikasi tertentu dan belanja kementerian dan lembaga lain juga akan bergeser," kata Tauhid.
Misalnya, anggaran pertahanan dalam RAPBN 2024 mencapai Rp 135,5 triliun. Kemudian outlook 2023 sebesar Rp 144,7 triliun dan pada 2022 sebesar Rp 150,3 triliun. Sementara PDB atas dasar harga mencapai Rp 19.588,4 triliun pada 2022.
"Angka [anggaran pertahanan] terakhir sekitar Rp 130-an triliun, berarti 1% itu sekitar 180 triliun terhadap PDB. Nah, kalau 2% berarti bisa lebih Rp 200 triliun, dan itu terlalu tinggi lompatannya," ujarnya.
Menurut Tauhid, anggaran pertahanan tetap penting. Tapi, akan lebih baik jika kenaikannya dilakukan secara bertahap melihat proporsi pertumbuhan APBN dan belanja negara.
Selain mempertimbangkan proporsi APBN, Tauhid juga mendesak pemerintah untuk meningkat industri pertahanan dalam negeri, terutama dari sisi rantai pasok. Sehingga tidak terlalu mengandalkan alutsista impor dari luar.
"Misalnya, dengan penyediaan kendaraan lapis baja dan kebutuhan sarana prasarana untuk para prajurit dari dalam negeri. Jika membutuhkan alat berteknologi tinggi seperti pesawat terbang dan kapal bisa beli di luar jika untuk keperluan jangka panjang," katanya.