Pengusaha Minta Karaoke Keluarga Dikecualikan dalam Pajak Hiburan 40%
Para pengusaha karaoke meminta kenaikan tarif pajak hiburan dikecualikan untuk karaoke keluarga. Hal ini disampaikan dalam sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) terhadap UUD 1945.
Agenda tersebut digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (13/3) dengan agenda perbaikan permohonan. Perkara Nomor 31/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Santoso Setyadji, seorang pengusaha karaoke keluarga.
Persidangan tersebut dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Arsul Sani, pemohon yang diwakili oleh Annee William Siadari.
Dalam aturan tersebut, pemerintah menetapkan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atau pajak hiburan sebesar 40%-75% untuk bisnis diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
Para pemohon atau pengusaha karaoke meminta penambahan frasa “dikecualikan terhadap karaoke keluarga” dalam pasal 58 ayat (2) UU HKPD. Dalam pasal tersebut dituliskan khusus tarif PBJT atas jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.
"Karena pasal 58 Undang-Undang No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Annee dikutip dari keterangan resmi MK, Kamis (14/3).
Annee menyampaikan, pihaknya telah melakukan penyempurnaan terkait surat kuasa khusus mengenai tanda tangan kuasa pemberi kuasa telah diperbaiki dan diganti.
“Terhadap alat bukti, kami juga menambahkan tax payer pemohon yang meliputi NPWP pemohon, surat setoran pajak dan bukti pembayaran PBJT,” ujarnya.
Kemudian, kuasa hukum pemohon lainnya, Adong menyebut terdapat pada bagian kedudukan hukum. Dalam perbaikan, pemohon telah menguraikan dasar yang berdasarkan fakta. Sedangkan alasan permohonan, ruang lingkup ketentuan hukum yang diuji masih seperti semula.
Sebelumnya, pemohon mendalilkan pasal a quo inkonstitusional. Pemohon menilai, sebelumnya dalam UU HKPD tersebut terdapat perubahan tarif PBJT terhadap jasa kesenian dan hiburan yang sifatnya diskriminatif.
Sebelum berlakunya ketentuan tersebut, pelaku usaha telah membayar pajak kepada pemerintah daerah sesuai peraturan yang berlaku. Pemohon menyatakan tarif PBJT terbaru akan berpengaruh terhadap konsumen yang dikenakan pajak PBJT minimal 40% dari jumlah konsumsi jasa karaoke yang digunakan.
"Menurut pemohon, konsumen akan memperhitungkan nilai sejumlah biaya yang harus dibayarkan atas konsumsi barang dan/atau jasa yang telah dikonsumsi karena belum termasuk pengenaan pajak yang tinggi," kata dia.