Utang Pemerintah Berpotensi Naik Akibat Pelemahan Rupiah

 Zahwa Madjid
19 April 2024, 17:48
Warga menunjukan uang rupiah baru yang baru saja ditukarkan pada mobil kas keliling Bank Indonesia (BI) di Pasar Palmerah, Jakarta, Senin (18/3/2024). Layanan penukaran uang Rupiah melalui kas keliling merupakan wujud komitmen Bank Indonesia dalam member
ANTARA FOTO/Muhammad Iqb
Warga menunjukan uang rupiah baru yang baru saja ditukarkan pada mobil kas keliling Bank Indonesia (BI) di Pasar Palmerah, Jakarta, Senin (18/3/2024). Layanan penukaran uang Rupiah melalui kas keliling merupakan wujud komitmen Bank Indonesia dalam memberikan layanan kas yang prima agar masyarakat semakin mudah untuk memperoleh uang Rupiah layak edar terlebih untuk kebutuhan Lebaran 2024.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Sejumlah ekonom memperkirakan pelemahan rupiah akan berdampak pada peningkatan jumlah utang pemeritah. Karena mayoritas utang pemerintah dan kegiatan impor menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat (AS).

Bahkan, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira memperkirakan utang pemerintah bisa tembus Rp 10 ribu triliun pada semester pertama tahun 2025. 

“Awal tahun depan, sangat mungkin [utang] bisa menembus Rp 10.000 trilun kalau terjadi lonjakan pada suku bunga, karena konflik geopolitik juga akan meningkatkan risiko," ujar Bhima kepada Katadata.co.id, Jumat (19/4).

Kementerian Keuangan mencatat, utang pemerintah hingga Januari 2024 mencapai Rp 8.253,09 triliun. Sehingga, akan ada kemungkinan penambahan utang baru sekitar Rp 1.746,91 triliun jika tembus sampai Rp 10.000 triliun. 

Dengan kondisi itu, menurut Bhima, pemerintah akan menerbitkan surat utang baru karena pendapatan ekspor akan berkurang, sementara kebutuhan impor minyak untuk BBM meningkat. Hal ini berpotensi memperlebar defisit APBN.

“Subsidi energi akan membengkak, kemudian ada penyesuaian dari sisi tarif listrik dan tarif produksi. Ini yang membuat defisit APBN semakin melebar. Sehingga ada urgensi penerbitan utang baru di luar rencana awal,” ujarnya.

Ada Potensi Rupiah Menguat dan Konflik Mereda

Menurut Ekonom CORE Yusuf Manilet, kemungkinan utang pemerintah mencapai Rp 10.000 triliun bisa terjadi tapi tidak dalam waktu dekat. Apalagi, rupiah masih berpotensi menguat kembali.

"Masih banyak faktor yang akan bisa memperkuat kembali nilai tukar rupiah dan masih terlalu dini untuk menyimpulkan masalah geopolitik akan berlangsung lama," ujarnya.

Selain itu, kata Yusuf, dampak kenaikan harga minyak dunia bersifat jangka pendek. Sehingga, dampaknya tidak akan terlalu signifikan terutama terhadap kenaikan utang pemerintah.

Di sisi lain, secara total proporsi utang pemerintah dari kurs valuta asing (valas), masih lebih kecil jika dibandingkan dengan persentase utang dalam bentuk rupiah.

Hal ini berdasarkan data Kemenkeu, total penerbitan surat berharga negara mencapai Rp 7.278,03 triliun pada Januari 2024. Terdiri surat utang domestik Rp 5.873,38 triliun dan valas Rp 1.404,65 triliun.

Meski demikian, instrumen pinjaman pemerintah yang justru perlu diantisipasi. Karena saat ini, proporsi pinjaman luar negeri berdenominasi dolar mendominasi utang pemerintah dalam bentuk pinjaman.

Tercatat pinjaman dari luar negeri mencapai Rp 938,83 triliun, atau mendominasi total pinjaman pemerintah pada Januari 2024. Sementara pinjaman dalam negeri hanya sebesar Rp 36,23 triliun.

Jika pinjaman ini jatuh tempo pada tahun ini, maka akan ada tambahan pembayaran utang karena ada selisih nilai tukar rupiah dari pinjaman luar negeri. Selisih ini terjadi karena nilai tukar dolar AS makin mahal terhadap rupiah. 

“Selain itu, ada biaya komitmen dari pinjaman luar negeri yang diberikan, ketika tidak digunakan secara baik, maka commitment fee ini akan lebih besar, karena ada selisih dari pelemahan rupiah,” ujarnya.

Reporter: Zahwa Madjid

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...