Bank Dunia Waspadai 3 Risiko yang Bisa Hambat Pertumbuhan Ekonomi
Perekonomian global akhirnya berada di jalur yang tepat untuk menjadi stabil. Namun, Bank Dunia menilai masih ada tiga risiko yang perlu diwaspadai karena dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi global. Tiga risiko yang diwaspadai Bank Dunia itu adalah suku bunga tinggi, tensi geopolitik, dan situasi politik di berbagai negara.
Pada Selasa (11/6), Bank Dunia menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2024 menjadi 2,6%, meningkat dari proyeksi sebelumnya sebesar 2,4%. Namun, Bank Dunia memperingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak akan dirasakan secara merata atau menyamai pertumbuhan yang terlihat sebelum pandemi Covid.
"Empat tahun setelah gejolak yang disebabkan oleh pandemi, konflik, inflasi, dan pengetatan moneter, tampaknya pertumbuhan ekonomi global mulai stabil," kata Indermit Gill, Kepala Ekonom Bank Dunia, dalam sebuah rilis yang dikutip oleh CNN.
Namun, Gill juga menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi global berada pada tingkat yang lebih rendah daripada sebelum tahun 2020. "Prospek untuk negara-negara ekonomi termiskin di dunia bahkan lebih mengkhawatirkan," ujarnya.
Suku Bunga Tinggi
Bank Dunia memperkirakan inflasi global akan melambat menjadi 3,5% tahun ini dan 2,9% pada tahun 2025. Namun, penurunan inflasi berada di laju yang lebih lambat daripada yang diperkirakan enam bulan yang lalu. Suku bunga global kemungkinan akan mencapai rata-rata 4% pada tahun 2025 dan 2026. Angka tersebut sekitar dua kali lipat dari rata-rata dua dekade sebelum pandemi.
Bank Sentral Eropa dan Bank of Canada telah memangkas suku bunga utama mereka dalam beberapa minggu terakhir. Federal Reserve AS belum mengikuti langkah kedua bank sentral itu. The Fed justru mempertahankan suku bunga acuan untuk ketujuh kalinya secara berturut-turut pada Rabu (12/6) lalu.
The Fed juga memangkas proyeksi penurunan suku bunga tahun ini dari tiga kali menjadi satu kali. Gubernur The Fed Jerome Powell mengakui kemajuan yang dibuat dalam menekan inflasi. Namun, bank sentral AS itu perlu melihat inflasi lebih dekat ke target 2% sebelum melonggarkan kebijakan moneter.
"Lingkungan dengan suku bunga lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama akan berarti kondisi keuangan global yang lebih ketat dan pertumbuhan yang jauh lebih lemah di negara-negara berkembang," kata Ayhan Kose, wakil kepala ekonom Bank Dunia, dalam sebuah rilis, seperti dikutip CNN, pada Kamis (13/6).
Ketegangan Geopolitik
Bank Dunia mengatakan bahwa risiko spillover dari perang Rusia-Ukraina serta perang Israel-Hamas dapat membatasi pertumbuhan global dengan mendorong harga minyak dan biaya pengiriman.
Harga minyak telah turun sejak lonjakan awal dari kedua perang tersebut. Harga kontrak minyak mentah berjangka internasional berada di US$82,60 per barel pada Rabu lalu. Serangan-serangan terhadap kapal-kapal kontainer di Laut Merah di salah satu rute perdagangan terpenting di dunia telah menaikkan biaya dan menyebabkan penundaan pengiriman.
"Konflik yang meningkat juga dapat merusak sentimen bisnis dan konsumen global, dan meningkatkan penghindaran risiko, sehingga membebani permintaan dan pertumbuhan," kata laporan Bank Dunia tersebut.
Risiko Politik
Risiko-risiko juga muncul dari beberapa kemungkinan perubahan pada kepemimpinan pemerintah tahun ini. Pemilu-pemilu penting telah atau akan berlangsung di India, Meksiko, Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris, di antara lusinan negara lainnya.
Ketegangan perdagangan telah terjadi di antara beberapa mesin ekonomi global terbesar di dunia. Cina mengatakan dengan tegas mereka menentang tarif baru AS atas impor kendaraan listrik dan produk lainnya dari Cina senilai US$18 miliar (Rp 291,6 triliun).
Tiongkok memperingatkan bahwa hambatan perdagangan akan mempengaruhi hubungan yang lebih luas antara kedua negara adidaya ekonomi tersebut. Risiko terjadinya perang dagang antara AS dan Cina ini kemungkinan meluas dengan kebijakan baru yang dikeluarkan oleh Uni Eropa.
Komisi Eropa mengatakan bahwa Uni Eropa akan menaikkan tarif untuk mobil listrik yang diimpor dari Cina. Kebijakan Uni Eropa ini mendapatkan reaksi keras dari Beijing.
"Meningkatnya ketidakpastian terkait kebijakan perdagangan dan potensi kebijakan yang lebih berorientasi ke dalam (negeri) dapat membebani prospek perdagangan dan aktivitas ekonomi," kata laporan Bank Dunia.