Bank Indonesia Beri Sinyal Penurunan Suku Bunga di Kuartal IV 2024
Bank Indonesia (BI) tetap memproyeksikan penurunan suku bunga acuan atau BI Rate pada triwulan IV 2024. Proyeksi ini mempertimbangkan kondisi ekonomi domestik dan arah suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed.
“Kami masih melihat ruang untuk arah suku bunga BI-Rate akan turun tetap sama, yaitu pada triwulan IV,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI di Jakarta, Rabu (17/7).
Proyeksi itu tetap bertahan meski BI memperkirakan suku bunga The Fed atau Fed Fund Rate (FFR) bakal turun pada November 2024 mendatang.
Perry menjelaskan inflasi AS pada Juni 2024 lebih rendah dari prakiraan akibat inflasi energi dan perumahan yang menurun. Sementara itu, imbal hasil (yield) US Treasury 10 tahun masih tetap tinggi lantaran kebutuhan defisit anggaran pemerintah AS.
Kondisi tersebut mendorong prakiraan FRR dapat turun lebih cepat dari proyeksi sebelumnya. “Kemungkinan penurunan FFR itu lebih maju. Tapi akan kami lihat, tergantung bagaimana FFR-nya, US Treasury-nya, dan dolar AS-nya,” ujar dia.
Perry menekankan bahwa proyeksi tersebut mengacu pada kondisi terkini. Prediksi ke depan masih mungkin akan berubah bergantung pada pergerakan kondisi ekonomi mendatang.
“Semua data bersifat dependen. Ini bacaan sampai sekarang. Untuk bulan depan akan kami sampaikan,” kata Perry.
BI Tahan Suku Bunga 6,25%
Berdasarkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI yang berlangsung pada 16-17 Juli 2024, BI menahan suku bunga acuan atau BI-Rate di level 6,25%. Suku bunga deposit facility juga dipertahankan 5,5% dan suku bunga lending facility 7%.
Keputusan itu konsisten dengan kebijakan moneter yang mendukung stabilitas, sebagai langkah pencegahan dan melihat kondisi ke depan. Hal ini bertujuan untuk memastikan tetap terkendalinya inflasi dalam sasaran 2,5% plus minus 1% pada 2024 dan 2025.
Perry menyamapiakn fokus kebijakan moneter dalam jangka pendek diarahkan untuk memperkuat efektivitas stabilisasi nilai tukar rupiah dan menarik aliran modal asing masuk ke pasar keuangan Indonesia.
"Hal ini dibarengi kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," kata Perry.