RI Alami Deflasi 4 Bulan Beruntun, BPS Singgung Kondisi Krisis 1999 dan 2008

Rahayu Subekti
3 September 2024, 13:00
Deflasi
ANTARA FOTO/Reno Esnir/app.
Pedagang melayani pembeli sayuran di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Kamis (1/8/2024). BPS mencatat inflasi Indonesia pada Juli 2024 mencapai 2,13 persen secara tahunan (YoY) dan deflasi sebesar 0,18 persen pada Juli 2024 secara bulanan (MoM) dengan kelompok penyumbang deflasi terbesar, antara lain makanan, minuman serta tembakau.
Button AI Summarize

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya deflasi dalam empat bulan beruntun sejak Mei hingga Agustus 2024. Deflasi pada Mei 2024 tercatat 0,03% secara bulanan dan semakin dalam pada Juni menjadi 0,08%.

Deflasi pun semakin parah pada Juli 2024 yang mencapai 0,18%. Deflasi pun terus berlanjut pada Agustus 2024 namun kembali ke level 0,03% sama seperti bulan Mei.

Secara umum, deflasi adalah penurunan laju inflasi dalam waktu tertentu. Pada kondisi ini, harga barang dan jasa secara bersamaan mengalami penurunan.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengatakan fenomena deflasi beruntun bukan pertama kali dialami Indonesia. Kasus serupa pernah terjadi saat krisis ekonomi pada 1999 dan pada 2000 saat pandemi Covid-19.

“Setelah krisis finansial Asia, pada tahun 1999 Indonesia mengalami deflasi tujuh bulan berturut-turut selama Maret-September. Ini sebagai akibat dari depresiasi nilai tukar dan penurunan harga barang beberapa jenis barang,” kata Pudji.

Tak hanya itu, periode deflasi lain juga terjadi saat krisis finansial global pada Desember 2008 hingga Januari 2009. Saat itu, deflasi terjadi karena penurunan harga minyak dunia dan permintaan domestik yang melemah.

Deflasi juga terjadi saat Indonesia mengalami pandemi Covid-19 pada 2020. Kala itu, Indonesia mengalami deflasi selama tiga bulan berturut pada Juli-September 2020.

Pudji menyebut empat kelompok pengeluaran yang mengalami deflasi pada masa pandemi Covid-19 yaitu kelompok makanan, minuman, dan tembakau. Kemudian dari kelompok pakaian dan alas kaki, transportasi, serta kelompok informasi, komunikasi dan jasa keuangan.

“Dengan empat kelompok ini, mengindikasikan bahwa penurunan daya beli pada tahun 2020,” ujar Pudji.

Sementara pada tahun ini, Pudji menyebut fenomena deflasi beruntun karena dipengaruhi sisi penawaran. Deflasi tersebut disebabkan oleh penurunan harga pangan seperti produk tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan.

“Biaya produksinya turun sehingga harga di tingkat konsumen juga ikut turun. Hal ini seiring adanya panen raya sehingga pasokan berlimpah sehingga harganya juga ikut turun,” kata Pudji.

Deflasi Beruntun Karena Pelemahan Daya Beli

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyebut deflasi yang terjadi pada empat bulan beruntun disebabkan oleh pelemahan daya beli. Huda menyebutnya sebagai efek domino dari pelemahan daya beli terutama, karena berkurangnya kelas menengah dan penurunan PMI manufaktur Indonesia.

“Bisa dibilang (deflasi 2024) hampir serupa dengan apa yang dialami pada 2008 dan 2009 kemudian saat pandemi mengalami deflasi. Tapi ini berbeda,” kata Huda.

Menurut Huda, deflasi pada tahun 2008-2009 dipengaruhi oleh faktor krisis global. Kemudian deflasi pada tahun 2020-2021 disebabkan oleh pelemahan daya beli pada saat pandemi Covid-19.

Sementara pada tahun ini, kondisi deflasi justru sedikit berbeda dengan catatan histori sebelumnya. Saat ini, masyarakat dihadapkan beberapa kebijakan yang menekan daya beli dan tabungan masyarakat juga ikut terkuras. 

“Waktu 2022, pemerintah seharusnya menjaga daya beli karena masih dalam masa pemulihan ekonomi, tapi ada kenaikan harga pertalite," kata dia. 

Bahkan saat masa pemulihan, pemerintah justru mengerek tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 11%. Kemudian pemerintah kembali berencana menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada 2025. 

Huda menilai, kebijakan tersebut membuat masyarakat makin waspada terhadap kenaikan pajak dan inflasi pada 2025. Hal ini menyebabkan permintaan barang dan jasa di masyarakat menurun terutama dari kelas menengah.

“Ini sangat berbahaya, kalau lihat data Bank Dunia, ada penurunan kelas menengah sehingga mereka rentan jatuh miskin," kata Huda.

Menurut Huda, kondisi tersebut saling berkaitan. Dimulai dengan pelemahan daya beli sehingga memicu deflasi selama empat bulan beruntun karena konsumsi makanan, minuman dan tembakau turun.

Reporter: Rahayu Subekti

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...