Prabowo Diminta Persempit Opsi Utang, Fokus pada Target Pajak Progresif
Presiden Prabowo Subianto membentuk kabinet super gemuk yang akan membutuhkan penyesuaian koordinasi cukup lama. Kabinet Merah Putih 2024-2029 itu mencakup menteri, wakil menteri, pejabat setingkat menteri, penasihat khusus, kepala badan, sekretaris kabinet, utusan khusus presiden, dan staf khusus yang jumlahnya mencapai 135 orang.
Namun pembentukan kabinet super gemuk ini dikhawatirkan akan menambah beban negara dan utang baru. Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Muhammad Nawir Messi meminta Prabowo untuk mempersempit opsi utang tersebut.
“Kenapa kita tidak minta Prabowo memberi target progresif capaian perpajakan dan tidak pernah berpikir lagi ke depan ada opsi-opsi utang terbuka lebar,” kata Nawir dalam diskusi publik Indef, Selasa (22/10).
Jika target pajak progresif tidak mampu diterapkan, Nawir meminta Prabowo bisa melakukan opsi lain dengan mengevaluasi kinerja para menteri di kabinet super gemuk tersebut. “Kalau nggak mampu (terapkan pajak progresif) ya ganti menterinya,” ujar Nawir.
Dia mengingatkan, jangan sampai opsi tersebut justru membuat utang negara makin lebar. Selain itu, dia meminta Prabowo juga bisa fokus untuk meningkatkan rasio pajak pada masa pemerintahannya.
“Yang paling penting ada target yang lebih progresif ditetapkan presiden kepada pelaksana tugas. Dengan demikian, janji politik dengan perbaikan rasio pajak bisa dipantau bersama,” kata Nawir.
Jika cara memandang utang masih sama seperti pada 10 tahun lalu, ruang fiskal akan makin sempit. Hingga pada akhirnya, pemerintah tidak memiliki ruang yang cukup untuk bermanuver.
“Opsi utang ini harus dipersempit agar pemerintah atau menteri bersangkutan punya opsi terbatas selain meningkatkan dari sisi permintaan,” ujar Nawir.
Prabowo Terjebak Utang Jumbo
Prabowo dipastikan akan menanggung beban utang yang lebih besar. Sebab, utang jatuh tempo pemerintahan Prabowo pada dua sampai tiga tahun pertama mencapai Rp 700 triliun hingga Rp 800 triliun.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mempermasalahkan utang jatuh tempo berbentuk SBN. “Masalahnya dari utang jatuh tempo ini adalah sebagian besar utang itu berbentuk SBN atau surat berharga negara,” kata Bhima dalam diskusi Celios, Kamis (12/9).
Menurut Bhima, mengatasi pembayaran surat utang adalah yang paling sulit. Pemerintah akan kesulitan melakukan renegosiasi utang karena jumlah kreditur atau pembeli SBN bervariasi mulai dari lembaga keuangan, rumah tangga, bank, hingga lembaga keuangan.
“Belum lagi pemain-pemain investasi dari asing yang tersebar di banyak sekali negara,” ujar Bhima.
Sementara renegosiasi yang paling mudah berasal dari pinjaman pemerintah, namun jumlahnya masih lebih sedikit dibandingkan porsi SBN. Kondisi tersebut akan membuat beban fiskal yang diwarisi Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Prabowo menjadi lebih berat.
Bahkan pemerintah masih mengandalkan utang baru. Kementerian Keuangan mencatat penarikan utang baru mencapai Rp 347,6 triliun pada Agustus 2024. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyebut nilai utang tersebut setara 53,6% dari target APBN 2024 sebesar Rp 648,1 triliun.