Cina Bakal Terbitkan Obligasi Pemerintah 3 Triliun Yuan di 2025

Hari Widowati
24 Desember 2024, 18:45
Cina, obligasi negara, surat utang 2025
ANTARA FOTO/Andika Wahyu/foc.
Pemerintah Cina telah setuju untuk menerbitkan obligasi negara senilai 3 triliun yuan (Rp 6.659,45 triliun) pada 2025.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Otoritas Tiongkok telah setuju untuk menerbitkan obligasi negara senilai 3 triliun yuan (Rp 6.659,45 triliun) pada 2025. Menurut dua sumber Reuters, penerbitan obligasi ini akan menjadi yang tertinggi dalam sejarah Cina.

Pemerintah Cina ingin menggunakan dana dari hasil penerbitan obligasi itu untuk meningkatkan stimulus fiskal untuk menghidupkan kembali ekonomi yang goyah. Rencana penerbitan surat utang negara pada tahun 2025 ini menunjukkan peningkatan tiga kali lipat dari 1 triliun yuan tahun ini. Rencana ini muncul ketika Beijing bergerak untuk menangkis pukulan kenaikan tarif bea impor Amerika Serikat (AS) terhadap produk-produk Tiongkok ketika Donald Trump mulai menjabat pada Januari nanti.

Hasil penerbitan obligasi ini akan ditargetkan untuk meningkatkan konsumsi masyarakat melalui program-program subsidi, menambah pembelian barang modal, dan mendanai investasi-investasi di sektor-sektor maju yang digerakkan oleh inovasi. Sumber-sumber Reuters yang mengetahui tentang diskusi-diskusi tersebut menolak untuk diidentifikasi karena sensitivitas masalah ini.

Kantor Informasi Dewan Negara, Kementerian Keuangan, serta Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional (NDRC), tidak segera menanggapi permintaan Reuters untuk memberikan komentar. Imbal hasil obligasi Cina bertenor sepuluh tahun dan 30 tahun masing-masing naik 1 basis poin (bp) dan 2 bps setelah berita ini muncul.

Penerbitan obligasi negara khusus yang direncanakan tahun depan akan menjadi yang terbesar dalam catatan dan menggarisbawahi kesediaan pemerintah Cina untuk berutang lebih banyak lagi. Pemerintah akan menggunakan pendanaan ini untuk melawan kekuatan deflasi di negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia ini.

"Penerbitan obligasi negara ini melebihi ekspektasi pasar,” kata Tommy Xie, Kepala Riset Asia Macro di OCBC Bank, seperti dikutip Reuters, Selasa (24/12).

Menurutnya, pemerintah pusat merupakan satu-satunya entitas yang memiliki kapasitas yang berarti untuk leverage tambahan. Karena itu, setiap penerbitan obligasi di tingkat pusat dianggap sebagai sebuah perkembangan yang positif, yang akan memberikan dukungan tambahan untuk pertumbuhan.

Cina umumnya tidak memasukkan obligasi khusus jangka panjang dalam rencana anggaran tahunan, karena negara tersebut melihat instrumen ini sebagai langkah luar biasa untuk mengumpulkan dana untuk proyek-proyek tertentu atau tujuan kebijakan yang diperlukan.

Sebagai bagian dari rencana tahun depan, sekitar 1,3 triliun yuan atau Rp 2.219 triliun yang akan dikumpulkan melalui obligasi khusus jangka panjang akan mendanai “dua program utama” dan “dua program baru”.

Inisiatif “baru” itu terdiri atas program subsidi untuk barang-barang tahan lama, yang memungkinkan konsumen untuk menukarkan mobil atau peralatan lama dan membeli yang baru dengan harga diskon. Inisiatif itu juga mencakup program terpisah yang menyubsidi peningkatan (upgrade) peralatan berskala besar untuk bisnis.

Program-program “utama” mengacu pada proyek-proyek yang mengimplementasikan strategi-strategi nasional seperti pembangunan jalur kereta api, bandara, dan lahan pertanian. Dokumen-dokumen resmi juga menunjukkan proyek-proyek utama itu mencakup pembangunan kapasitas keamanan di area-area utama.

Badan perencana negara NDRC mengatakan pada 13 Desember lalu bahwa Beijing telah mengalokasikan sepenuhnya semua hasil dari 1 triliun yuan atau Rp 2.219 triliun tahun ini dalam bentuk obligasi negara jangka panjang. Sekitar 70% dari hasil penerbitan obligasi negara itu untuk mendanai proyek-proyek utama dan sisanya digunakan untuk membiayai dua skema baru.

Perang Tarif AS

Porsi besar lain dari hasil penerbitan obligasi negara pada 2025 akan digunakan untuk investasi dalam “kekuatan produktif baru”. Menurut sumber-sumber Reuters, ini adalah istilah yang digunakan Beijing untuk manufaktur canggih, seperti kendaraan listrik, robotika, semikonduktor, dan energi hijau.

Salah satu sumber mengatakan lebih dari 1 triliun yuan akan dialokasikan untuk inisiatif tersebut. Sisanya akan digunakan untuk merekapitalisasi bank-bank negara besar. Pasalnya, bank-bank raksasa Cina harus berjuang dengan margin yang menyusut, keuntungan yang goyah, dan meningkatnya kredit macet.

Penerbitan utang khusus tahun depan akan setara dengan 2,4% dari produk domestik bruto (PDB) Cina pada tahun 2023. Beijing mengumpulkan 1,55 triliun yuan melalui obligasi semacam itu pada tahun 2007, atau 5,7% dari output ekonomi pada saat itu.

Presiden Xi Jinping berkumpul dengan para pejabat tinggi untuk menghadiri Konferensi Kerja Ekonomi Pusat (CEWC) tahunan pada tanggal 11 dan 12 Desember untuk memetakan arah ekonomi untuk tahun 2025.

Sebuah ringkasan media pemerintah mengenai pertemuan ini mengatakan pemerintah menilai perlu untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang stabil, menaikkan rasio defisit fiskal, dan menerbitkan lebih banyak obligasi negara pada tahun depan. Namun, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai hal itu.

Minggu lalu Reuters melaporkan pemerintah Tiongkok berencana menaikkan defisit anggaran ke rekor 4% dari PDB tahun depan dan mempertahankan target pertumbuhan ekonomi di kisaran 5%. Di CEWC, Beijing menetapkan target-target untuk pertumbuhan ekonomi, defisit anggaran, penerbitan utang, dan area-area lain di tahun depan.

Meskipun biasanya disetujui oleh para pejabat tinggi, target-target tersebut tidak diumumkan secara resmi hingga pertemuan tahunan parlemen di bulan Maret dan masih bisa berubah sebelum itu.

Perekonomian Cina mengalami kesulitan tahun ini karena krisis properti yang parah, utang pemerintah daerah yang tinggi, dan lemahnya permintaan konsumen. Ekspor, salah satu dari sektor yang berkinerja baik, akan segera menghadapi tarif bea masuk AS yang melebihi 60% jika Trump memenuhi janji-janji kampanyenya.

Di sisi lain, risiko-risiko terhadap ekspor akan membuat Cina harus bergantung pada sumber-sumber pertumbuhan domestik. Konsumen Cina merasa kurang makmur karena jatuhnya harga properti dan minimnya kesejahteraan sosial. Lemahnya permintaan rumah tangga juga merupakan risiko utama yang mengancam pertumbuhan ekonomi Cina.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...