Anomali Konsumsi Jelang Lebaran 2025, Dampak Krisis Daya Beli Kelas Menengah

Ringkasan
- PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) akan mengadopsi strategi multikategori yang kuat dan inovasi berkelanjutan untuk meningkatkan pangsa pasar pada segmen rokok golongan I, menekankan pada sigaret kretek mesin tar rendah (SKM LT) dan sigaret putih mesin (SPM), serta memperkuat ekuitas merek khususnya pada Sampoerna A dan Marlboro.
- Perusahaan bertujuan menumbuhkan segmen sigaret kretek mesin tar tinggi (SKM HT) melalui aktivasi program yang ditujukan bagi konsumen dewasa, sambil meningkatkan kreativitas dalam portfolio mereka dan mendorong pertumbuhan produk bebas asap dengan memanfaatkan teknologi digital dan ekspansi pasar.
- Meskipun laba HM Sampoerna menurun sebesar 11,55% menjadi Rp 3,31 triliun di semester pertama 2024, perusahaan berhasil mencatatkan kenaikan penjualan bersih sebesar 2,96% menjadi Rp 57,81 triliun, dengan penjualan sigaret kretek mesin sebagai kontributor terbesar pendapatan.

Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia mengungkap terjadi anomali jelang Lebaran 2025 dalam hal konsumsi masyarakat. Hal ini tercermin dari tidak adanya tren ramai berbelanja kebutuhan Ramadan dan Idulfitri, deflasi awal tahun, penjualan riil yang merosot, hingga melemahnya transkasi belanja menggunakan kartu debit dan kredit.
Dalam studi CORE Insight bertajuk Awas Anomali Konsumsi Jelang Lebaran, lemahnya konsumsi rumah tangga menjelang Lebaran karena adanya tekanan dari sisi pendaparan kelompok rumah tangga kelas menengah dan menengah ke bawah. Salah satu penyebabnya, kasus pemutusan hubungan kerja atau PHK massal yang terjadi di sektor industri manufaktur.
Selain itu, para pekerja juga sulitnya mendapatkan pekerjaan di sektor formal dan melambatnya pertumbuhan upah riil pekerja di sektor manufaktur dan pertanian. “Kondisi ini berkontribusi signifikan terhadap melemahnya daya beli kelompok rumah tangga kelas menengah dan menengah bawah,” tulis laporan CORE Insight yang dirilis pada Kamis (27/3).
PHK massal yang terjadi di sektor manufaktur adalah faktor signifikan terhadap anomali konsumsi rumah tangga menjelang lebaran 2025. PHK PT Sri Rejeki Isman alis Sritex yang mengorbankan 10.655 pekerja pada 26 Februari 2025 mengawali kabar buruk tersebut.
Sritex bukan satu-satunya yang melakukan PHK. CORE mencatat PHK massal sudah mulai terjadi sejak 2022. Tercatat, 60 industri padat karya di sektor tekstil merumahkan karyawannya sepanjang 2022-2024.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyebut jumlah karyawan industri tekstil yang terkena PHK mencapai kurang lebih 227 ribu pekerja pada 2022-2025, di luar Sritex. Jumlah pemecatan industri tekstil terjadi dengan masif, terutama pabrik-pabrik skala menengah dengan input karyawan berkisar ratusan.
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah karyawan yang terkena PHK pada Januari 2025 saja mencapai 3.325 pekerja. Dari jumlah tersebut, PHK terbanyak terjadi di Jakarta hingga 2.650 pekerja.
Lalu pada 2024, data Kemnaker menunjukkan sebanyak 77.965 pekerja terkena PHK. Dari jumlah tersebut, 69% terjadi di DKI Jakarta sebanyak 17.085 pekerja, Jawa Tengah sebanyak 13.130 pekerja, Banten hingga 13.042 pekerja, dan Jawa Barat mencapai 10.661 pekerja.
“PHK masif yang telah terjadi tersebut diperkirakan akan disusul secara masif oleh pabrik lainnya. Misalnya, PT Sanken Indonesia akan tutup pada Juni 2025 dan PT Yamaha Music pada Desember 2025,” tulis CORE.
Selain fenomena PHK besar-besaran tersebut, lembaga itu mengungkapkan sulitnya mencari pekerjaan yang layak bagi pekerja kerah putih juga menjadi sebab menurunnya pendapatan dari yang selayaknya diterima.
Melambatnya Pertumbuhan Upah Riil
Selain sulitnya mencari pekerjaan di sektor formal, CORE menyatakan melambatnya pertumbuhan upah riil di sektor industri, perdagangan, pertanian, dan jasa lainnya menambah beban rumah tangga pekerja.
“Upah sektor industri manufaktur yang diharapkan mampu menjadi bantalan bagi pendapatan masyarakat yang semakin tergerus justru terkontraksi 0,7% pada 2024,” tulis CORE.
Padahal, pada 2022 dan 2023, upah riil pekerja manufaktur masih tumbuh rata-rata 5,6%. Hal yang sama juga terjadi sektor pertanian yang upah riil nya minus 0,6%.
Sektor penyedia akomodasi dan makan minum juga minus 1,4%. Di sisi sektor perdagangan, meskipun tidak berkontraksi, menunjukkan perlambatan yang sangat drastis hingga 0,1% pada 2024 jika dibandingkan dengan pertumbuhan 10% pada 2022.
“Kontraksi dan perlambatan pertumbuhan upah riil ini menjadi sumber utama ganjalan daya beli kelompok rumah tangga kelas menengah dan menengah ke bawah,” tulis CORE.