Sri Mulyani Tarik Utang Rp 349,3 Triliun untuk Tambal Defisit APBN

Rahayu Subekti
20 Juni 2025, 19:01
utang
Katadata/Fauza Syahputra
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan pemaparan pada konferensi pers APBN KiTa di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (17/6/2025). Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan hingga akhir Mei 2025 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tercatat defisit sebesar Rp21 triliun yang disebabkan oleh realisasi belanja negara melebihi pendapatan yang terkumpul dalam lima bulan pertama tahun ini.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Menteri Keuangan Sri Mulyani Idrawati melakukan penarikan utang baru sebesar Rp 349,3 triliun hingga Mei 2025. Penarikan utang itu untuk menambal defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Realisasi utang tersebut melonjak 164,2% dibanding periode yang sama tahun lalu yang hanya Rp 132,2 triliun. Sebaliknya, pembiayaan nonutang tercatat minus Rp 24,5 triliun.

"Artinya, kita melakukan investasi pada hal-hal khusus," ujar Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono dalam konferensi pers APBN KiTA, Selasa (17/6).

Thomas menjelaskan bahwa pembiayaan nonutang ini dilakukan melalui investasi pemerintah di sektor-sektor tertentu tanpa menambah beban utang baru.

Penarikan utang tersebut telah mencapai 45% dari total target pembiayaan utang melalui Surat Berharga Negara (SBN) neto dan pinjaman senilai Rp 775,9 triliun.

Menurut Thomas, strategi pembiayaan pemerintah dilakukan secara fleksibel dan terukur, termasuk dari sisi waktu, instrumen, dan komposisi mata uang.

"Ini didukung oleh pelaksanaan prefunding, penguatan cash buffer, serta manajemen kas dan utang yang berkelanjutan," katanya.

Adapun total pembiayaan anggaran yang telah direalisasikan pemerintah hingga Mei 2025 mencapai Rp 324,8 triliun. Jumlah ini setara dengan 52,7% dari pagu pembiayaan yang dirancang sebesar Rp 616,2 triliun.

APBN Balik ke Zona Defisit

Meski pembiayaan disebut tetap terkendali, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) per akhir Mei 2025 kembali mencatat defisit Rp 21 triliun atau 0,09% terhadap PDB. Padahal bulan sebelumnya APBN masih mencatat surplus Rp 4,3 triliun.

Namun, Sri Mulyani memastikan defisit tersebut masih dalam batas aman. "APBN tahun ini menetapkan defisit total Rp 612 triliun. Jadi, Rp 21 triliun masih sangat kecil," ujarnya.

Dari sisi pendapatan, negara telah mengantongi Rp 995,3 triliun atau 33,1% dari target tahunan Rp 3.005,1 triliun. Rinciannya, penerimaan perpajakan mencapai Rp 806,2 triliun (32,4%) dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 188,7 triliun (36,7%).

Sementara belanja negara tercatat Rp 1.016,3 triliun atau 28,1% dari pagu Rp 3.621,3 triliun. Belanja pemerintah pusat mencapai Rp 694,2 triliun, terdiri dari belanja K/L sebesar Rp 325,7 triliun dan belanja non-K/L Rp 368,5 triliun.

Sedangkan belanja transfer ke daerah (TKD) telah terealisasi Rp 322 triliun atau 35%. Meski defisit, APBN masih mencatat surplus keseimbangan primer sebesar Rp 192,1 triliun, naik dari April yang tercatat Rp 173,9 triliun.

Tekanan dari Geopolitik Global

Sri Mulyani mengakui kinerja APBN sangat dipengaruhi kondisi ekonomi global, yang saat ini tengah bergejolak akibat konflik antara Israel dan Iran.

Ketegangan tersebut turut mendongkrak harga minyak lebih dari 8% dari kisaran US$ 70 menjadi US$ 78 per barel. "Perang, misalnya, bisa berdampak pada pendapatan negara melalui volatilitas harga komoditas," ujar Sri Mulyani.

Selain itu, belum tercapainya kesepakatan dagang antara Amerika Serikat dan Cina turut meningkatkan ketidakpastian global. “Risiko pertama adalah kenaikan harga, terutama minyak, akibat disrupsi geopolitik. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi global justru melemah,” katanya.

Kombinasi dua risiko tersebut menyebabkan inflasi meningkat, sementara tekanan terhadap aktivitas ekonomi juga makin terasa. Hal ini tercermin dari PMI Manufaktur Global yang turun ke level 49,6 pada Mei 2025 atau terendah sejak Desember 2024.

Sebanyak 70,8% negara ASEAN dan G20 mengalami kontraksi, termasuk Indonesia yang mencatat PMI di level 47,4. “Global economic yang melemah kemungkinan mempengaruhi permintaan terhadap barang-barang ekspor kita,” kata Sri Mulyani.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Rahayu Subekti

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...