Dorong Pengembangan Lapangan Gas, Pemerintah Harus Jamin Serapannya
Rencana pengembangan (plan of development/POD) lapangan gas saat ini terkendala rendahnya permintaan yang menjadi faktor terpenting bagian terpenting sebelum gas tersebut diproduksikan. Oleh karena itu pemerintah harus bisa memastikan gas yang diproduksi akan terserap untuk pasar domestik.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan pengembangan lapangan gas membutuhkan dukungan kuat dari pemerintah. Dimana negara hadir untuk memberikan jaminan bahwa gas yang diproduksikan pengembang akan terserap.
Sejauh ini konsumen utama gas domestik merupakan sektor industri dan pembangkit listrik. Untuk itu, harus ada kepastian dari pemerintah agar industri yang sudah mendapatkan kebijakan harga gas khusus berkomitmen menyerap gas di dalam negeri.
Selain itu, yang tak kalah penting adalah perlunya kejelasan dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) untuk periode 2021-2030. Menurut dia porsi pembangkit gas pada RUPTL akan berpengaruh besar pada serapan gas bumi domestik.
"Jangan sampai di hulu gas harus ke domestik tapi RUPTL justru mencerminkan ada pengurangan gas untuk pembangkit," katanya kepada Katadata.co.id, Kamis (23/9).
Menurut Komaidi sinkronisasi antar sektor memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan. Khususnya pada perusahaan migas, misalnya Inpex dalam mengembangkan Blok Masela.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyadari gas bumi memang jauh berbeda dengan minyak yang bisa langsung dijual tanpa harus menunggu pembeli. Ini menjadi dilema dalam pengembangan lapangan gas jumbo yang Indonesia miliki.
"Dengan produksi yang besar sedangkan pembeli belum ada terus mau dikemanakan gas yang dihasilkan, ini yang menjadi bahan pertimbangan," katanya.
Namun, jika tidak dikembangkan maka hal ini juga akan merugikan investor, mengingat ada batas waktu kontrak mereka dengan pemerintah. Di samping itu, hal ini juga akan merugikan negara lantaran akan ada potensi penundaan penerimaan negara.
"Oleh karena itu, saya kira proses pengembangan harus terus dilakukan dengan pemerintah dan juga KKKS mencari mitra atau calon pembeli gas tersebut," ujarnya.
Sementara, SKK Migas mendukung langkah pemerintah dalam memberikan insentif bagi industri petrokimia di daerah penghasil gas. Ini sebagai salah satu upaya untuk mendorong monetisasi potensi gas bumi.
Kepala Divisi Monetisasi Minyak dan Gas Bumi SKK Migas Agus Budianto mengatakan salah satu contoh insentif yang diberikan pemerintah untuk mendukung penyerapan gas oleh industri petrokimia adalah insentif untuk Genting Oil Kasuri Pte Ltd di Papua Barat.
Dengan insentif tersebut, kontraktor dapat menyesuaikan harga gas dari US$ 5 per MMBTU menjadi US$ 4 per MMBTU sehingga dapat diserap oleh produsen pupuk dan metanol yang akan beroperasi di wilayah tersebut.
"Pada awalnya ini gas dari Genting Oil di atas US$ 5 per MMBTU, itu gak ada yang mau bangun apalagi di area terpencil. Pemerintah lalu memberikan insentif kepada KKKS sehingga harga gas bisa diturunkan menjadi US$ 4 per MMBTU," katanya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal menilai masuknya gas yang bersumber dari Amerika dan Rusia membuat pasar gas bagi produsen Asia cukup tertekan.
Di lain sisi, Indonesia memiliki beberapa lapangan gas jumbo yang harus dikembangkan. Salah satunya yakni Blok Masela, dimana hingga kini masih terhambat seiring kepergian Shell di proyek tersebut. "INPEX belum tentu ingin menanggung beban biaya 30% porsi PI Shell," katanya.
Moshe pun menyarankan supaya pemerintah mendorong pengembangan infrastruktur proses dan distribusi gas (CNG/LNG) dan pembangkit listrik tenaga gas di dalam negeri. Sehingga pasar domestik bisa menyerap potensi produksi dari lapangan gas secara lebih besar.
"Gas adalah energi transisi, kunci proses transisi Indonesia ke energi baru dan terbarukan, semua pihak harus mendukung," katanya.