Produksi 1 Juta bph Minyak pada 2030 Butuh Investasi US$ 160 Miliar
SKK Migas optimistis investasi hulu migas hingga 2030 dapat mencapai US$ 160 miliar. Investasi tersebut dibutuhkan untuk mengejar target produksi minyak 1 juta barel (bopd) dan produksi gas 12 miliar standar kaki kubik per hari (BSCFD).
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan realisasi investasi hulu migas hingga kuartal III 2021 baru mencapai US$ 7,9 miliar, masih jauh dari target tahun ini sebesar US$ 12,38 miliar. SKK Migas pun memproyeksikan investasi hulu tahun ini hanya mencapai US$ 11,2 miliar atau sekitar 90% dari target.
"Untuk mengejar (produksi) 1 juta barel kami akan terus meningkatkan investasi. Kami targetkan pada 2030 investasi sekitar US$ 160 miliar," ujarnya dalam acara Energy Corner, Senin (1/11).
Menurut Dwi ada beberapa faktor yang membuat realisasi investasi hulu migas hingga semester III tahun ini masih rendah. Di antaranya meliputi aktivitas pengeboran dan kegiatan eksplorasi yang masih minim imbas pandemi Covid-19.
Pandemi membuat investor lebih memilih berjaga-jaga, meskipun harga minyak sudah mulai bangkit setelah kejatuhannya sepanjang tahun lalu. "Untuk itu kita harapkan para pelaku hulu migas melakukan kegiatan investasi yang agresif," katanya.
Dewan Energi Nasional (DEN) sebelumnya mengungkapkan ada beberapa alasan yang membuat investasi hulu migas di tanah air lesu. Salah satunya yakni terkait pembagian bagi hasil produksi (split) untuk kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).
Anggota DEN Satya Widya Yudha menyadari iklim investasi migas nasional saat ini masih kurang menarik bagi para investor karena bagi hasil produksi migas RI untuk KKKS cenderung lebih kecil dibandingkan dengan negara tetangga.
"Kalau di Indonesia minyak itu kira kira 15% hingga 25%, dan untuk gas 20% hingga 40%. Malaysia cukup tinggi sampai 80%," kata dia beberapa waktu lalu, Selasa (14/9).
Begitu juga dengan aturan tentang komitmen bonus tanda tangan (signature bonus) untuk pengelolaan blok migas, yang diwajibkan minimal sebesar US$ 1 juta. Sedangkan Malaysia, Timor Leste, dan Australia tidak mewajibkan adanya bonus tanda tangan. Sementara di Thailand dan Vietnam bonus tanda tangan bersifat negosiasi.
Selain itu, ada aturan mengenai participating interest (PI) 10%, yakni besaran maksimal 10% pada KKKS yang wajib ditawarkan oleh kontraktor pada BUMD atau BUMN yang dinilai kurang menarik bagi investor.
"Apalagi dalam praktiknya, PI 10% ini kerap kali ditalangi oleh investor dulu. Di negara lain lebih kecil dan tidak ditalangi, kecuali di Timor Leste," ujarnya.
Dengan demikian, untuk menggairahkan iklim investasi hulu migas tanah air, maka diperlukan perubahan kebijakan dan regulasi. Terutama terkait fiskal diantaranya seperti pemberian insentif yang fleksibel serta penyesuaian split, assume & discharge, ring fencing, Komitmen Kerja Pasti, bonus tanda tangan dan fasilitas pajak tidak langsung.