Harga Minyak Turun 13% Sepekan setelah AS Lepas Cadangan 1 Juta bph
Harga minyak dunia mencatatkan penurunan mingguan terbesar dalam dua tahun terakhir setelah Amerika Serikat (AS) dan negara anggota Badan Energi Internasional (IEA) sepakat untuk melepas cadangan strategisnya.
Mengutip Bloomberg, minyak mentah Brent dalam sepekan ini turun 12,8% dari US$ 117 per barel menjadiUS$ 102, sedangkan West Texas Intermediate (WTI) turun 12,5% dari US$ 112 menjadi US$ 98 per barel.
Amerika mengumumkan pelepasan 1 juta barel per hari (bph) cadangan minyak strategisnya selama enam bulan mulai Mei, atau total 180 juta barel. Ini merupakan pelepasan terbesar cadangan minyak strategis AS untuk mengendalikan inflasi dan harga bahan bakar.
Negara-negara anggota IEA setuju untuk mengikuti langkah AS namun belum diketahui komitmen volume cadangan yang akan dilepas. Direktur divisi urusan internasional di Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri Jepang Hidechika Koizumi mengatakan detail tersebut akan disepakati dalam 1-2 minggu ke depan.
Meski demikian analis energi menilai pelepasan cadangan minyak Amerika tersebut tak sebanding dengan pasokan minyak Rusia yang hilang yang mencapai 3 juta bph mulai April imbas sanksi yang dijatuhkan negara-negara barat.
Analis PVM Stephen Brennock mengatakan bahwa pelepasan cadangan minyak AS tidak mengubah fakta bahwa pasar akan berjuang untuk menemukan pasokan yang cukup dalam beberapa bulan mendatang.
"Pelepasan cadangan minyak AS tidak ada artinya jika dibandingkan dengan ekspektasi bahwa 3 juta barel per hari minyak Rusia akan ditutup karena sanksi dan pembeli menolak pembelian," ujarnya seperti dikutip dari Reuters pada Sabtu (2/4).
Menanggapi turunnya harga minyak mentah dunia, Pengamat Ekonomi Energi dan Pertambangan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmy Radhi, mengatakan pelepasan cadangan AS secara psikologis dan rill mampu menurunkan harga minyak namun hanya sementara.
Sebab perang Rusia Ukraina yang menjadi salah satu akar melonjaknya harga minyak masih belum mereda. "Penurunan harga ini saya kira hanya sementara karena sampai kapan AS itu mampu memasok minyaknya 1 juta barel per hari. Padahal kebutuhan AS sendiri cukup besar," ujarnya.
Dia memprediksi dalam sepekan harga minyak dunia akan kembali di atas US$ 105 per barel. "Rusia produksi minyaknya cukup besar, jika kemudian terkena dampak ekonomi tidak bisa memasok di pasar dunia maka kelangkaan minyak akan kembali terjadi dan harga minyak akan kembali meningkat," ujarnya.
Fahmy mengatakan kenaikan harga minyak dunia bisa diminimalisir jika para anggota NATO memiliki kebebasan untuk mengimpor minyak dari Rusia. "Selama negara Eropa Barat tidak bisa memanfaatkan minyak dari Rusia, harga minyak dunia akan tetap tinggi," kata dia.
JPMorgan mengatakan dalam sebuah catatan bahwa mereka telah mempertahankan perkiraan harganya tidak berubah pada US$ 114 per barel untuk kuartal II dan US$ 101 per barel pada semester II tahun ini.
"Kami menyadari bahwa pelepasan cadangan minyak bukan sumber pasokan yang terus-menerus, apalagi pasokan minyak Rusia yang hilang lebih dari 1 juta bph tahun depan. Ini akan membuat defisit pasokan yang lebih besar yang membuat perkiraan harga US$ 98 per barel kami untuk tahun ini tahun terlalu rendah," kata bank.
Karena sifatnya yang jangka pendek, Fahmy tak melihat potensi atau peluang yang bisa dipetik oleh Indonesia dari turunnya harga minyak. "Ini fenomena jangka pendek, agak sulit bagi Indonesia ataupun negara-negara lain untuk memanfaatkan peluang turunnya harga minyak," ucapnya.