Krisis Gas Eropa Kerek Harga Batu Bara Acuan RI ke US$ 321,59 per Ton
Harga batu bara acuan (HBA) Agustus 2022 naik US$ 2,59 per ton dibandingkan bulan sebelumnya menjadi US$ 321,59 per dipicu oleh krisis gas di Eropa yang meningkatkan permintaan batu bara.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan kenaikan harga batu bara acuan Indonesia dipicu oleh krisis gas di Eropa yang mendorong permintaan batu bara.
“Harga gas alam cair di Eropa terus merangkak naik menyusul ketidakpastian pasokan gas. Bahkan beberapa negera Eropa mengaktifkan kembali pembangkit listrik batu bara guna antisipasi adanya krisis listrik,” ujarnya dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (2/8).
Faktor lain yang turut memengaruhi, sambung Agung, adalah adanya lonjakan permintaan batubara dari Tiongkok, India dan Korea Selatan. “Ini disebabkan lantaran Rusia menawarkan diskon harga batubara,” ujarnya.
Kenaikan ini mencatatkan tren positif harga batubara sepanjang tahun 2022. Pada Januari 2022, HBA ditetapkan sebesar US$ 158,50/ton, kemudian naik ke US$ 188,38 pada Februari. Selanjutnya bulan Maret menyentuh angka US$ 203,69, April US$ 288,40, Mei US$ 275,64, dan Juni US$ 323,91.
“Bulan lalu (Juli) memang sempat turun menjadi US$ 319/ton. Bulan Agustus 2022 ini, HBA naik menjadi US$ 321,59/ton,” ungkap Agung. Simak perkembangan HBA pada databoks berikut:
HBA sendiri merupakan harga yang diperoleh dari rata-rata indeks Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt's 5900 pada bulan sebelumnya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6322 kcal/kg GAR, Total Moisture 8%, Total Sulphur 0,8%, dan Ash 15%.
Agung menambahkan, kenaikan HBA Agustus juga dipengaruhi oleh kenaikan rata-rata indeks bulanan penyusun HBA, yaitu: NEX naik 3,75%, GCNC naik 3,32%, ICI turun 3,94%, dan Platt's turun 3,58%.
Sebagai informasi, terdapat dua faktor turunan yang memengaruhi pergerakan HBA yaitu, supply dan demand. Pada faktor turunan supply dipengaruhi oleh season (cuaca), teknis tambang, kebijakan negara supplier, hingga teknis di rantai pasok seperti kereta, tongkang, maupun loading terminal.
Sementara untuk faktor turunan demand dipengaruhi oleh kebutuhan listrik yang turun berkorelasi dengan kondisi industri, kebijakan impor, dan kompetisi dengan komoditas energi lain, seperti LNG, nuklir, dan hidro.
Di samping itu, pemerintah juga menetapkan HBA domestik khusus kelistrikan sebesar US$ 70 per ton dan US$ 90 per ton diperuntukkan bagi HBA domestik untuk kebutuhan bahan bakar industri. “Ini menjaga daya saing industri domestik dan utamanya memastikan keterjangkauan hasil produksi industri bagi masyarakat,” tukas Agung.