BLU Batu Bara Terhambat Bentuk Payung Hukum, Antara PP atau Perpres
Langkah pemerintah untuk membentuk badan layanan umum (BLU) batu bara masih tersendat akibat terbentur oleh pembahasan payung hukum.
Kementerian ESDM telah mengajukan izin prakarsa ke Kementerian Sekretariat Negara, namun ada perdebatan terkait bentuk payung hukum BLU, apakah dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpes) atau Peraturan Pemerintah (PP).
"Izin prakarsa belum mendapat persetujuan. Saat ini masih ada perdebatan payung hukum dalam bentuk Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden," kata Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR pada Selasa (9/8).
Arifin menambahkan, pihaknya telah menyiapkan sejumlah aturan turunan seperti Peraturan Menteri ESDM dan Keputusan Menteri ESDM jika nantinya skema BLU diatur dalam payung hukum Perpres. "Kementerian ESDM telah menyampaian surat ke Kementerian Sekretariat Negara agar payung hukum BLU dapat berupa Perpres," ujarnya
Dia menegaskan bahwa skema BLU batu bara sangat diperlukan untuk menjamin ketersediaan pasokan untuk kebutuhan dalam negeri melalui penghimpunan dan penyaluran dana kompensasi.
Melalui skema ini, PLN dan industri semen, pupuk, dan kertas hanya wajib membayar batu bara senilai harga jual domestic market obligation atau DMO, yakni US$ 70 per ton untuk PLN dan US$ 90 per ton untuk industri.
Sementara itu, selisih antara harga pasar yang dikurangi dengan harga wajib PLN atau industri akan ditutup langsung oleh BLU yang memperoleh dana dari tarikan iuran ekspor para penambang. Saat ini pemerintah telah mematok angka DMO sebesar 25% dari total produksi tahunan perusahaan tambang.
"Kondisi harga batu bara yang tinggi saat ini mengakibatkan disparitas harga yang besar dan mengakibatkan perusahaan cenderung untuk mendapatkan harga yang lebih baik, ini mengakibatkan potensi industri dalam negeri bsia mengalami kekurangan," ujar Arifin.
Disparitas harga jual batu bara DMO US$ 70 per ton dan US$ 90 per ton membuat sejumlah pemasok lebih memilih untuk mengirim emas hitam ini ke luar negeri. Harga batu bara di pasar Ice Newcastle pada Jumat (5/8), pekan lalu bertengger di US$ 346,75 per ton, meski turun, harga pasar ini tetap jauh lebih tinggi dari harga DMO.
Menanggapi adanya kabar macetnya pembahasan BLU, anggota Komisi VII Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Abdul Kadir Karding, mengusulkan agar komisi energi mempertemukan Kementerian Sekretariat Negara, Kementerian ESDM, dan PLN di dalam satu forum.
"Untuk mendorong dan menyelesaikan masalah payung hukumnya Perpres atau PP sehingga tidak bertele-tele. Kalau dibiarkan lama, yang terjadi adalah uang negara terkuras terus dan PLN kesulitan," kata Karding.
Hal serupa juga disampaikan oleh Maman Abdurrahman. Politisi Partai Golongan Karya ini meminta agar usulan tersebut bisa direalisasikan pada masa awal sidang usai reses. Maman mengatakan, Komosi VII bakal memanggil Kementerian Sekretaris Negara setelah berkoordinasi dengan Komisi II.
"Secara aturan untuk membuat perpres itu dibutuhkan izin prakarsa. Ini untuk mempercepat karena pada dasarnya BLU merupakan satu-satunya solusi untuk mengamankan pasokan suplai PLN dengan listriknya," jelas Maman
Sebelumnya diberitakan, PLN menyatakan dibayangi ancaman kekurangan pasokan batu bara. Kondisi tersebut merupakan imbas dari sejumlah perusahaan batu bara yang menahan pasokan mereka ketimbang mengirim ke PLN.
Selain itu, disparitas harga jual batu bara domestic market obligation atau DMO US$ 70 per ton membuat sejumlah pemasok lebih memilih untuk mengirim emas hitam ini ke luar negeri. Hal itulah yang berdampak pada makin sulitnya PLN untuk memperoleh jatah batu bara.
"Pemenuhan DMO PLN menjadi pilihan terakhir karena paling murah US$ 70 per ton," kata Wakil Presiden Eksekutif Batu Bara PLN, Sapto Aji Nugroho dalam Diskusi Publik Badan Layanan Umum (BLU) Batu Bara, Selasa (2/8). Guna mengatasi hal tersebut, Aji berharap pemerintah segera mengesahkan BLU sebagai pemungut iuran batu bara.
Dalam skema BLU, PLN hanya wajib membayar batu bara senilai US$ 70 per ton. Sementara itu, selisih antara harga pasar yang dikurangi dengan harga wajib PLN akan ditutup langsung oleh BLU yang memperoleh dana dari tarikan iuran ekspor para penambang.
"BLU adalah solusi yang akan mengatasi persoalan ini karena prinsip dasarnya menyelesaikan permasalahan disparitas harga," ujar Sapto Aji.
Hal serupa juga dirasakan oleh produsen semen. Asosiasi Semen Indonesia (ASI) mengatakan pelaku usaha kekurangan pasokan batu bara selama satu semester terakhir. Sebab, mereka kesulitan menggaet penambang batu bara yang bersedia menjual dengan harga domestic market obligation atau DMO US$ 90 per ton.
Ketua ASI Widodo Santoso menjelaskan, dua bulan lalu mereka memperoleh jatah batu bara dari penugasan Kementerian ESDM 2,5 juta ton. Ini dibagikan ke 14 pabrik semen. Jumlah itu lebih tinggi dari jatah yang diberikan untuk industri pupuk 300 ribu ton.
Namun, kebutuhan batu bara untuk industri semen idealnya delapan sampai 10 juta ton. "Ini 2,5 juta ton. Tiga bulan sudah habis," kata dia.
“Ini perlu disampaikan bagaimana kelanjutan untuk tiga bulan mendatang. Nyatanya masih susah mencari perusahaan yang mau jual dengan harga DMO,” tambah dia. Tahun ini, penambang batu arang wajib menyerahkan 167 juta ton kepada PLN dan 35 juta ton untuk sektor industri, termasuk semen dan pupuk.
Sedangkan kebutuhan batu bara untuk industri semen tahun ini 16 juta ton. Menurutnya, jumlah ini hanya 4% dari rencana ekspor batu bara 450 juta ton. Mantan Ketua Umum Semen Padang FC itu mengatakan, seretnya suplai pasokan batu bara karena penambang tidak sanggup menyediakannya.
Menurut Widodo, ada beberapa pelaku usaha batu bara yang sedang memperbaiki tambang dan sudah terikat kontrak dengan industri non-semen. "Ini juga kami laporkan. Padahal mereka ekspor besar-besaran. Nah yang repot ini ada 18 badan usaha batu bara yang ditunjuk penugasan tapi tidak merespons," tukas Widodo.