Outlook 2023: Krisis Energi di Tengah Ancaman Resesi Global

Happy Fajrian
5 Januari 2023, 07:00
krisis energi, outlook 2023
123RF.com/_fla
Ilustrasi migas.

Sepanjang 2022 dunia berjibaku dengan krisis energi seiring dengan pulihnya perekonomian dunia dari pandemi Covid-19 yang membuat permintaan energi meningkat. Namun di saat yang sama terjadi disrupsi pada pasokan energi terganggu sehingga melambungkan harganya hingga ke level tertinggi sepanjang masa.

Disrupsi tersebut terutama disebabkan oleh invasi Rusia ke Ukraina yang memicu sanksi negara-negara Barat, termasuk terhadap komoditas energi Rusia, terutama minyak dan batu bara. Sanksi tersebut kemudian dibalas oleh Rusia dengan secara bertahap menghentikan pasokan gas yang sangat dibutuhkan Eropa.

Eropa yang sudah dilanda krisis gas sejak pertengahan 2021, beralih ke sumber energi fosil seperti minyak dan batu bara. Alhasil, harga minyak melambung hingga ke level tertingginya sejak 2008, dan harga batu bara meroket ke level tertingginya sepanjang masa.

Harga minyak sempat menyentuh US$ 139,13 per barel untuk Brent dan US$ 130,50 untuk minyak mentah Amerika Serikat (AS) West Texas Intermediate (WTI) pada perdagangan intraday 8 Maret 2022. Sedangkan harga batu bara menyentuh US$ 457,8 per ton pada awal September 2022.

Tingginya harga energi menjadi salah satu faktor yang mendorong inflasi tinggi di berbagai negara. Hal ini direspons oleh bank-bank sentral di seluruh dunia, termasuk bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), dengan menaikkan suku bunga.

Kenaikan suku ini kemudian memicu ancaman resesi ekonomi yang pada akhirnya menekan harga minyak di pengujung 2022 karena resesi berpotensi melemahkan prospek permintaan energi.

Turunnya harga minyak juga dipengaruhi oleh permintaan energi yang lesu oleh Cina, yang merupakan salah satu negara pengimpor minyak utama dunia, imbas kebijakan pembatasan Covid-19 ketatnya.

Prospek Permintaan dan Harga Energi 2023

Era suku bunga tinggi diprediksi mendorong perlambatan ekonomi dunia. Namun permintaan energi akan tetap tinggi meski pertumbuhannya relatif kecil. Menurut proyeksi Economist Intelligence Unit (EIU) permintaan energi global pada 2023 tumbuh hanya 1,3% dibandingkan level tahun 2022.

Dari sisi pasokan, EIU juga memproyeksikan turunnya pasokan energi karena OPEC dan para sekutunya, atau lebih dikenal dengan OPEC+, akan memastikan harga tidak tertekan terlalu dalam melalui kebijakan produksinya.

Seperti ketika kelompok tersebut memutuskan untuk memangkas produksi minyak sebesar 2 juta barel per hari untuk November dan Desember. Namun sejatinya kelompok ini kerap gagal mencapai target produksi yang telah disepakati, meskipun target tersebut telah diturunkan pada dua bulan terakhir 2022.

Produksi minyak dan gas Rusia juga diprediksi turun dengan mulai berlakunya sanksi dari negara-negara barat berupa pembatasan harga minyak mentah di level US$ 60 per barel, serta larangan impor minyak melalui laut mulai 5 Desember 2022. Kemudian pada Februari 2023 Uni Eropa akan melarang impor produk minyak olahan dari Rusia.

Meski ada tekanan dari sisi pasokan, kekhawatiran resesi ekonomi global masih menjadi faktor penekan harga minyak yang lebih besar. EIU memperkirakan harga minyak mentah dunia pada 2023 berada pada kisaran US$ 89,6 per barel.

Apalagi konsumsi minyak diprediksi hanya tumbuh sekitar 1,4%, terutama didorong oleh kawasan Asia yang tumbuh 2,9%, sedangkan di Eropa permintaan diramal turun 1% karena embargo minyak Rusia yang berlaku penuh.

Sementara itu konsumsi batu bara akan terdorong lantaran banyak negara di dunia akan lebih mengutamakan keamanan energinya di tengah krisis energi. “Batu bara menjadi sumber energi darurat di krisis energi yang terjadi di Eropa,” kata Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira kepada Katadata.co.id.

Sejumlah negara-negara Uni Eropa memang menyalakan kembali pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara untuk meningkatkan keamanan energinya seiring masih berlangsungnya konflik Rusia dan Ukraina.

CEO JPMorgan Chase Jamie Dimon memperingatkan bahwa krisis energi, terutama di sektor minyak dan gas, berpotensi memburuk imbas konflik tersebut.

“Bahaya perang ini luar biasa. Ini bisa berlangsung selama bertahun-tahun. Eropa mungkin dapat melalui krisis energi di musim dingin ini. Namun krisis energi, terutama minyak dan gas, berpotensi memburuk selama beberapa tahun ke depan jika perang berlarut-larut,” ujar Dimon.

Oleh karena itu harga batu bara diprediksi masih tetap tinggi. Bhima memprediksi harga batu bara pada 2023 sulit untuk turun ke bawah US$ 300 per ton. “Harga batu bara kemungkinan masih bertahan di atas US$ 400 per ton, meskipun mungkin mengalami moderasi harga tapi tidak bisa jatuh di bawah level US$ 300 per ton,” ujarnya.

Halaman:
Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...