Pengguna PLTS Atap Kini Lebih 4.000 Pelanggan, Naik 1.000% dari 2018
Kementerian ESDM mencatat hingga 2020, pemanfaatan energi surya di Indonesia baru mencapai 153,4 megawatt (MW) dari potensi 207,8 gigawatt (GW). Meski demikian, jumlah pelanggan PLTS atap saat ini mencapai 4.000 atau melonjak lebih dari 1.000% dibanding awal 2018.
Direktur Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan bahwa dengan potensi yang mencapai 32 GW, maka PLTS atap sangat menjanjikan untuk dikembangkan. Baik itu di rumah tangga maupun di gedung-gedung perkantoran maupun pemerintahan.
"Jumlah pelanggan PLTS atap meningkat 1.000% dibandingkan awal tahun 2018 di mana hanya 350 pelanggan yang memasang," ujarnya dalam Launching Program Gerakan Inisiatif Listrik Tenaga Surya (GERILYA), Jumat (13/8).
Meski demikian, dibandingkan potensi dan manfaat yang ada, angka tersebut masih tergolong kecil. Oleh karena itu pemerintah terus mendorong pemanfaatan PLTS atap secara signifikan, mengingat hal ini juga menjadi peluang bisnis yang menjanjikan.
Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA) juga melaporkan penurunan biaya investasi dari PLTS saat ini lebih dari 80% dalam satu dekade terakhir. "Ini menjadi peluang bisnis yang menjanjikan. Terlebih didorong panel surya yang semakin ekonomis," ujar Dadan.
Adapun guna menarik minat investasi pembangkit tersebut, pemerintah tengah merevisi aturannya. Institute for Essential Services Reform (IESR) sebelumnya menyebut revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) akan membantu pemerintah dalam mencapai target bauran energi baru terbarukan (EBT) 23% pada 2025.
Simak perkembangan jumlah pelanggan PLTS atap pada databoks berikut:
Selain itu, revisi ini juga memberikan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan yang besar. Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan perbaikan regulasi ini dapat membantu pemulihan ekonomi Indonesia dari Covid-19 dan memenuhi komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK).
Hingga akhir 2020, bauran EBT Indonesia baru sekitar 11,5%. Berdasarkan perhitungan IESR, untuk mengejar target 23% dalam empat tahun ke depan, Indonesia harus membangun 14-18 GW pembangkit listrik EBT.
“Mencermati rancangan RUPTL 2021-2030, kami melihat hingga 2025 tambahan pembangunan energi terbarukan kurang dari 14 GW. Untuk itu, pemerintah semestinya melibatkan masyarakat dan pelaku di luar PLN untuk membangun pembangkit energi terbarukan,” ujar Fabby.
Menurut dia gotong royong mewujudkan pemanfaatan EBT yang paling potensial dilakukan yaitu dengan mendorong adopsi PLTS atap secara besar-besaran. Apalagi sesuai hasil survei pasar IESR, terdapat potensi pasar 9-11% atau sekitar 7-8 juta rumah tangga yang berminat memasang PLTS atap.
Harga teknologi PLTS pun semakin turun dan terjangkau oleh masyarakat. Oleh karena itu pemerintah menyatakan akan memperbaiki beberapa ketentuan dalam revisi Permen No.49/2018.
Misalnya mengubah tarif ekspor-impor listrik net-metering menjadi 1:1, memperpanjang periode menihilkan kelebihan akumulasi selisih tagihan dari tiga bulan menjadi enam bulan, mewajibkan mekanisme pelayanan berbasis aplikasi, memperluas perizinan pemasangan PLTS atap kepada pelanggan di wilayah usaha non-PLN, perizinan yang lebih singkat, serta membangun pusat pengaduan sistem PLTS atap.
Menurut IESR ketentuan tarif net-metering 1:1 dari semula 1:0,65 akan meningkatkan keekonomian PLTS. Berdasarkan hasil studi pasar IESR, minat masyarakat menggunakan PLTS atap terbilang tinggi, dan mereka mengharapkan kebijakan yang mempermudah perizinan dan proses instalasi serta keekonomian yang memadai.
Dengan tarif net metering 1:1, maka waktu pengembalian investasi PLTS Atap pun dapat dipangkas dari 10 tahun menjadi kurang dari 8 tahun. Ketentuan ini akan mempengaruhi pemasukan (revenue) PLN tapi tidak signifikan dibandingkan dengan dampak ekonomi, lingkungan dan sosial dari berkembangnya PLTS atap.