Kementerian ESDM Bantu Turunkan Risiko Kegagalan Eksplorasi Panas Bumi
Pengembangan panas bumi diharapkan dapat mendorong pencapaian target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025. Namun pengembangan panas bumi membutuhkan waktu 7-10 tahun, mulai dari eksplorasi, eksploitasi, hingga beroperasi.
Proyek panas bumi pun termasuk kegiatan padat modal dan padat karya. Sedangkan pada peta jalan pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), pemerintah menargetkan kapasitas terpasang 9.300 megawatt (MW) pada 2035.
Untuk mencapai target tersebut, Kementerian ESDM mencanangkan program eksplorasi panas bumi oleh pemerintah atau government drilling dengan melakukan preliminary slim hole drilling. Program ini menurunkan risiko kegagalan eksplorasi, sehingga meningkatkan keekonomian proyek PLTP dan menambah daya tarik investasi.
“Pelaksanaan proyek panas bumi merupakan kegiatan yang padat modal dan padat karya. Rangkaian efek pengganda berupa manfaat positif dapat kita peroleh dari pengembangan panas bumi," ujar nya dalam keterangan tertulis, Rabu (8/9).
Manfaat positif tersebut seperti penyerapan tenaga kerja, alih teknologi, penguatan infrastruktur lokasi yang bermanfaat dalam pertumbuhan ekonomi dan kemajuan masyarakat secara bertahap mengikuti fase pengembangan panas bumi.
Pembangkit panas bumi juga menjadi alternatif yang dapat menopang program transisi energi nasional dalam upaya mengurangi emisi gas rumah kaca karena pembangkit ini menghasilkan emisi gas rumah kaca yang sangat kecil. Bahkan dengan teknologi binari, emisi dapat ditekan hingga nol.
“Saat ini, pemanfaatan energi panas bumi sebagai pembangkit listrik sebesar 2.175,7 MW atau 9,2% dari total potensi sumber daya, kita terus bekerja keras untuk mencapai target dengan tetap mengutamakan aspek keselamatan dan keberlangsungan lingkungan," kata Harris.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan bahwa melalui program government drilling, pemerintah 'mengambil alih' risiko eksplorasi panas bumi, sehingga biaya eksplorasi hanya dikeluarkan satu kali, tidak terbawa hingga 30 tahun, seperti eksplorasi yang telah dilakukan selama ini.
Pasalnya, sebagian besar kerugian proyek panas bumi disebabkan gagalnya eksplorasi. Hal tersebut menyebabkan harga listrik dari PLTP cukup mahal. Ini menyebabkan biaya subsidi kompensasi makin tinggi dan memberatkan APBN.
"Mahalnya biaya eksplorasi ini semua dimasukkan dalam komponen cost. Sehingga yang terjadi adalah, biaya listrik per kWh dari panas bumi itu jauh di atas rata-rata harga listrik. Ini tentu saja sangat memberatkan APBN," tuturnya.
Arifin menegaskan, dengan program ini investor akan memiliki data yang lebih akurat terkait panas bumi di suatu daerah. Hal ini dapat mengurangi risiko kegagalan eksplorasi.
"Dengan biaya yang tidak terlalu besar, karena pengeborannya dengan alat bor yang kecil, diketahui sumber panas yang ada di dalam perut bumi itu. Sehingga kemudian nanti investor yang masuk itu lebih mengetahui data kepastiannya untuk mengurangi risiko kegagalan," tuturnya.
Salah satu program eksplorasi pengeboran pemerintah yaitu pada prospek Cisolok-Cisukarame di Sukabumi. Potensi sumber daya panas bumi Cisolok-Cisukarame diperkirakan sebesar 45 MW dengan rencana pengembangan PLTP sebesar 20 MW.
Dalam waktu dekat juga akan dimulai pengeboran eksplorasi pada prospek Nage di Nusa Tenggara Timur (NTT). Konfirmasi cadangan melalui penambahan data survei geosains juga diupayakan untuk menekan risiko pengembangan panas bumi.