AS Menargetkan 40% Pasokan Listrik Berasal dari PLTS pada 2035
Pemerintah Amerika Serikat (AS) menargetkan energi surya atau pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkontribusi terhadap 40% pasokan listrik nasional pada 2035.
Menteri Energi Jennifer Granholm mengatakan bahwa berdasarkan laporan The Solar Futures Study, tenaga surya, yang merupakan sumber energi baru terbarukan (EBT) termurah dengan pertumbuhan tercepat, dapat memproduksi listrik yang cukup untuk seluruh rumah tangga di Amerika pada 2035.
“Energi surya dapat membantu dekarbonisasi sektor kelistrikan AS dalam mencapai netralitas karbon di sektor ini pada 2035. Proses ini juga akan menyerap hingga 1,5 juta tenaga kerja,” kata Granholm, seperti dikutip Reuters, Kamis (9/9).
Laporan tersebut menjelaskan langkah-langkah yang harus dilalui AS untuk mencapai target tersebut, termasuk memasang PLTS berkapasitas 30 gigawatt (GW) per tahun untuk periode 2021-2025, dan 60 GW per tahun pada 2026-2030.
Selain itu dibutuhkan juga pengembangan alat-alat untuk memperluas transmisi energi surya seperti penyimpanan, microgrids, dan peramalan. “Ini akan memainkan peran dalam menjaga keandalan dan kinerja dari jaringan listrik yang didominasi energi baru terbarukan,” kata Departemen Energi AS.
Pemerintah AS pun terus meningkatkan upaya untuk memperluas pemanfaatan energi terbarukan. Bulan lalu, Departemen Dalam Negeri AS mengumumkan bahwa akan mempermudah akses ke tanah milik pemerintah federal untuk membangun pembangkit surya dan angin.
Pasalnya, menurut riset Rystad Energy, ambisi Presiden AS Joe Biden untuk mendekarbonisasi sektor listrik pada 2035 akan membutuhkan lahan yang lebih luas dari negara Belanda, hanya untuk pembangkit energi surya saja.
Sementara itu industri tenaga surya AS menyatakan bahwa laporan dari The Future Solar Study menegaskan perlunya dukungan kebijakan yang signifikan untuk membangun industri EBT.
Lebih dari 700 perusahaan telah mengirim surat ke Kongres untuk mencari perpanjangan jangka panjang kredit pajak investasi surya, yang akan meringankan tantangan pembiayaan proyek terbarukan dan termasuk penyimpanan energi mandiri.
"Setelah bertahun-tahun kecaman kebijakan, inilah saatnya kami memberi bisnis energi bersih kepastian kebijakan yang mereka butuhkan untuk membersihkan jaringan kami dan menciptakan jutaan pekerjaan yang diperlukan untuk membangun ekonomi energi bersih yang adil," kata presiden Asosiasi Industri Energi Surya (SEIA). Abigail Ross Hopper.
World Research Institute (WRI) mencatat, lebih dari setengah emisi gas rumah kaca global disumbang sepuluh negara di dunia. Berdasarkan data Climate Watch yang dirilis WRI Indonesia, Tiongkok menjadi kontributor emisi gas rumah kaca terbesar hingga awal 2018.
Negeri Panda itu menghasilkan 12.399,6 juta metrik ton karbon dioksida ekuivalen (MtCO2e). Jumlah itu setara 26,1% dari total emisi global. Amerika Serikat menyusul di urutan kedua dengan menyumbang 6.018,2 MtCO2e yang setara dengan 12,7% emisi global. Kemudian, Uni Eropa menyumbang 3.572,6 MtCO2e atau setara 7,52% emisi global.