Desakan Transisi Energi Nonfosil Global dan Implikasinya ke Indonesia

Sampe L. Purba
Oleh Sampe L. Purba
21 Desember 2019, 08:30
Sampe L. Purba
KATADATA/JOSHUA SIRINGO RINGO
PLTB Sidrap

Implikasi bagi Indonesia

Indonesia memiliki target besar untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dari emisi business as usual (BAU) pada 2030. Indonesia juga memiliki target energi baru terbarukan (EBT) 23% pada 2025 dalam bauran energi. Penggalakan penggunaan bio energi yang saat ini dalam proses B30 dan yang akan ditingkatkan ke B50 atau lebih di tahun-tahun mendatang adalah upaya nyata untuk pengurangan ketergantungan kepada energi fosil.

Indonesia berupaya keras untuk menaikkan bauran energi dari sektor EBT, seperti tenaga matahari, PLTA (air), panas bumi, tenaga angin maupun bio massa. Kondisi alam Indonesia yang banyak berawan dan musim penghujan, tiupan angin yang tidak stabil, serta sebagian besar terutama di wilayah Timur merupakan pulau-pulau dan jauh dari sumber energi menjadi kendala. Dalam konteks ini, penggunaan energi berbasis fosil seperti gas masih merupakan andalan yang memiliki keunggulan komersial, pasokan tidak terputus, serta lebih praktis.

Pembangkit listrik masih tetap didominasi energi primer fosil. Pada 2017, kapasitas pembangkit tenaga listrik menggunakan energi fosil sebesar 85%, utamanya batu bara. Beberapa pembangkit baru yang dalam tahap pembangunan seperti proyek PLTU Batubara Indramayu #2, mendapatkan dukungan dana dari ODA (Official Development Assistance) Jepang. Pada 2025 energi primer kelistrikan diproyeksikan sebesar 102,6 MTOE, porsi terbesar batu bara 59%, disusul EBT 27% dan gas 14,1%. Porsi batu bara pada tahun 2050 diproyeksikan berkurang menjadi 52%.



Kebutuhan kilang minyak domestik (termasuk perluasan dan pembangunan kilang baru), memerlukan pasokan minyak mentah, baik melalui produksi domestik ataupun impor. Demikian juga roda perekonomian dan keuangan negara, termasuk kestabilan fiskal dana bagi hasil yang menopang anggaran daerah masih signifikan bertumpu pada energi fosil.

Strategi Diplomasi dan Hilirisasi

Sehubungan dengan konstelasi di atas, ada beberapa strategi yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama, Pemerintah Indonesia bersama-sama dengan pemerintah negara lain yang memiliki persoalan yang sama, melakukan instrumen diplomasi bersama yang efektif kepada negara-negara maju OECD agar objektif mempertimbangkan kondisi di masing-masing negara.

Kedua, bekerja sama secara sistematis dan berkelanjutan dengan negara-negara maju untuk meningkatkan teknologi penggunaan dan pemanfaatan energi primer yang efisien, bersih, dan harganya terjangkau.

Terakhir adalah secara terstruktur, terpola dan terpadu mentransformasi paradigma energi primer sebagai sumber pendapatan. Energi harus digunakan sebagai modal pembangunan, meningkatkan nilai tambah energi fosil dengan mendorong pengolahan lanjut dan hilirisasi.

Hal ini harus menjadi pola pikir dalam kebijakan umum penyusunan anggaran belanja negara. Dengan demikian, Indonesia sebagai warga dunia tetap mengambil peran dan tanggung jawabnya untuk menjaga iklim, seraya memperkuat bangunan struktur perekonomian negara yang berbasis nilai tambah hilirisasi energi primer.

Halaman:
Sampe L. Purba
Sampe L. Purba
Praktisi Energi Global. Managing Partner SP-Consultant

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...