Anomali Biaya Besar Pengentasan Kemiskinan

Herry Gunawan
Oleh Herry Gunawan
17 Oktober 2019, 07:00
Herry Gunawan
KATADATA/JOSHUA SIRINGO RINGO
Aktivitas keseharian warga di pemukiman padat penduduk Kampung Dao, Jakarta. Berdasarkan laporan Poverty and Shared Prosperity Report, sekitar 800 juta orang bertahan hidup dengan penghasilan kurang dari US$ 1,9 atau Rp 25 ribu per hari pada tahun 2013.

Ambil contoh pada 2018. Ketika itu, pemerintah mengalokasikan belanja perlindungan sosial dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 173,77 triliun. Dengan dana sebesar itu, ternyata hanya mampu mengeluarkan 805 ribu orang dari kategori kelompok miskin. Dengan demikian, dalam hitungan sederhana, rasionya adalah 1:17,99 juta. Rasio termahal terjadi pada 2016, yaitu 1:49,02 juta.

Tentu saja biaya tambun ini cenderung berlebihan. Sebagai amsal, jika tidak ada program pengentasan kemiskinan, kemudian anggaran tersebut dibagikan kepada seluruh orang miskin, niscaya masih surplus untuk membuat seluruhnya keluar dari garis kemiskinan.

Penyebab Anggaran Pengentasan Kemiskinan Tak Efisien

Sungguh misterius alokasi anggaran kemiskinan yang meningkat di tengah jumlah orang miskin yang terus turun. Tidak tertutup kemungkinan ada yang keliru pada program yang dijalankan, sehingga biayanya tampak tidak efisien.

Kemungkinan lain yang masih terbuka adalah hadirnya mafia bantuan pangan non-tunai –penyangga untuk masyarakat miskin- seperti yang diributkan Perum Bulog belakangan ini. Atau, mungkin juga akibat melambungnya ongkos birokrasi seperti biaya rapat, perjalanan dinas, dan beraneka kajian. Satu hal yang pasti: belum pernah terdengar ada evaluasi terbuka terkait dengan efisiensi pengentasan kemiskinan.

Apalagi, lembaga yang menangani urusan pengentasan kemiskinan pun begitu banyak. Sebut di antaranya adalah Kementerian Sosial, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, bahkan ada juga terselip di Kementerian Kesehatan maupun Kementerian Pendidikan.

Terseraknya panitia pengentasan kemiskinan ini membuat efisiensi penggunaan anggaran sulit dievaluasi. Bahkan jika ada yang keliru atau pun pemborosan anggaran, peluang yang terjadi adalah saling tuding.

Tidak berlebihan seandainya Presiden Joko Widodo mengonsolidasikan penanganan kemiskinan dalam satu atap. Evaluasi pencapaian serta pemanfaatan anggarannya menjadi lebih mudah dan terukur. Misalnya, menyerahkan semua anggaran pengentasan kemiskinan yang terserak dalam satu kantong Kementerian Sosial, sekaligus mengubah nomenklaturnya menjadi Kementerian Pengentasan Kemiskinan dan Penanggulangan Bencana.

Kebijakan seperti itu juga boleh diklaim oleh pemerintah dengan jargon “pertama dalam sejarah” dalam hal mengonsolidasikan pengentasan kemiskinan. Biarkan tetap menjadi gimmick asal masyarakat miskin terurus dengan baik karena berdaya, bukan yang lain.

Halaman:
Herry Gunawan
Herry Gunawan
Direktur Data Indonesia

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...