Unicorn, Hantu Masa Depan?

Metta
Oleh Metta Dharmasaputra.
22 Februari 2019, 06:00
Metta
Ilustrator: Betaria Sarulina

Berputar di Dalam Negeri

Penting juga dicatat, dana investasi jumbo itu sebagian besar akan berputar di dalam negeri. Salah satu yang terbesar, dialokasikan untuk penetrasi pasar dan akuisisi konsumen lewat subsidi harga ataupun beragam promo.

Itu sebabnya, ongkos yang dibayarkan para pengguna Gojek menjadi relatif murah. Juga ada beragam keuntungan yang didapat oleh penjual dan pembeli produk via transaksi online. Ini berarti, jutaan rakyat Indonesia ikut mencicipi manisnya dana para investor global itu.

Bagi perekonomian secara keseluruhan, efeknya pun tentu tak kecil. Taruhlah kita hanya menghitung dana investasi yang telah diraup empat unicorn itu. Dana yang berhasil mereka himpun sudah lebih dari $6 miliar (sekitar Rp 85 triliun). Adapun total dana yang mengucur ke Gojek dan Tokopedia masing-masing sebesar $3 miliar dan $2,4 miliar.

Dana triliunan itu kemudian digunakan oleh para startup untuk membangun infrastruktur dan ekosistem transaksi online, yang langsung berhubungan dengan kebutuhan masyarakat sehari-hari.

Hasilnya, Gojek bukan lagi sebatas menyediakan layanan transportasi, tapi juga pesan-antar makanan, pembayaran digital, logistik dan layanan mitra usaha. Go-Food bahkan telah menjelma menjadi layanan pesan-antar makanan terbesar di Asia Tenggara.

Sudah di lima negara kini Gojek dan afiliasinya beroperasi. Mencakup 204 kota dan kabupaten di Asia Tenggara (termasuk perluasan pasar ke Singapura, Vietnam dan Thailand). Jaringannya pun menjangkau lebih dari dua juta mitra pengemudi dan 400 ribu mitra pedagang.

Hal serupa dilakukan oleh Tokopedia dalam satu dasawarsa keberadaannya. Tak kurang dari lima juta merchants kini bergabung dalam layanan transaksi online ini. Yang mengagumkan, dari jumlah itu, 70 persen di antaranya merupakan entrepreneur baru.

Menurut CEO Tokopedia William Tanuwijaya, dana belasan triliun yang baru diperolehnya tahun lalu, akan digunakannya untuk membangun ekosistem yang bisa memberdayakan toko-toko kelontong dan UMKM di seluruh Indonesia. Dengan begitu, pemerataan kue ekonomi pun tercipta.

Manfaat lain yang didapat dari ekonomi digital adalah mempercepat inklusi keuangan untuk lapisan masyarakat yang selama ini belum terhubung dengan layanan perbankan (unbanked). Di berbagai negara berkembang di dunia, totalnya masih mencapai sekitar 2,5 miliar orang.

Di Indonesia sendiri diperkirakan jumlahnya lebih dari 170 juta orang. Sebab, baru 34 persen penduduk yang memiliki akses terhadap layanan keuangan formal.

Proporsi ini lebih rendah dibandingkan India, Malaysia dan Thailand. Jika ini tak diatasi, maka penduduk miskin akan tetap bergantung pada sumber-sumber keuangan informal, seperti arisan, keluarga atau bahkan rentenir.

Persoalan akses keuangan juga melanda UMKM. International Financial Corporation (IFC) pernah merilis data bahwa terdapat kesenjangan pembiayaan sebesar lebih dari US$ 2 miliar untuk usaha kecil di negara berkembang.

Di Indonesia, pendanaan yang mampu disiapkan oleh perbankan pun hanya sekitar Rp 600 triliun. Padahal, potensi permintaan pendanaan yang ada diperkirakan mencapai Rp 1.600 triliun. Menjawab kedua persoalan itu, layanan keuangan berbasis teknologi atau financial technology (Fintech) bisa menjadi solusi.

Fintech
Fintech (Arief Kamaludin (Katadata))

Menangkap Peluang

Di banyak negara berkembang, fintech memang terus tumbuh. Transaksi via telepon seluler bahkan telah menggantikan transaksi tunai. Afrika merupakan kawasan dengan pertumbuhan mobile money services yang paling pesat.

Di sembilan negara Afrika, mobile money account bahkan sudah melebihi jumlah rekening bank. Kenya yang terdepan. Sekitar 60 persen orang dewasa di negeri ini sudah menggunakan ponsel untuk melakukan transaksi keuangan.

Pesatnya perkembangan fintech di sana, tak lepas dari kebijakan regulator yang memperbolehkan transaksi mobile via M-Pesa tanpa harus memiliki rekening di bank.

Dari berbagai gambaran di atas, jelas ekonomi digital memberikan banyak peluang. Ia bahkan menjadi solusi atas sejumlah persoalan yang tidak bisa diselesaikan secara konvensional.

Benar bahwa ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Salah satunya bagaimana mendorong produk-produk lokal agar bisa bersaing di mata konsumen. Sehingga layanan online, tak hanya dibanjiri oleh produk-produk asing.

Meski begitu, tak berarti kita harus menghindar dari arus revolusi digital. Apalagi menurut laporan riset Google-Temasek, diperkirakan Asia Tenggara akan menjadi kawasan dengan pertumbuhan ekonomi digital yang pesat.

Kue ekonomi digital yang tercipta di kawasan ini pada akhir 2018 lalu sudah mencapai US$ 72 miliar (naik 37 persen dibanding tahun sebelumnya). Angka ini akan terus membesar dan diperkirakan bakal mencapai lebih dari US$ 240 miliar (Rp 3.360 triliun) pada 2025.

Indonesia sebagai negara dengan ekonomi digital terbesar dan tercepat pertumbuhannya, diprediksi akan menikmati porsi 40 persen dari kue itu, atau senilai US$ 100 miliar. Laporan lembaga riset global McKinsey bahkan menyebutkan nilai ekonomi digital Indonesia akan mencapai US$ 150 miliar atau 10 persen dari PDB pada 2025.

Melihat besarnya potensi ini, maka tak ada alasan bagi kita untuk khawatir berlebihan terhadap perkembangan ekonomi digital. Jangan sampai ketakutan akan hantu di siang bolong, membuat kita nantinya hanya menjadi penonton. Di tengah zaman yang terus berubah.

Halaman:
Metta
Metta Dharmasaputra.
Pendiri Katadata Insight Center
Editor: Redaksi

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...