Arcandra dan Untung-Rugi Negara
Jasa Penghematan Masela
Dalam konteks jasa bagi negara inilah, kemudian dikumandangkan peran besar Arcandra yang dinilai berjasa menghemat uang negara dalam rencana pengembangan Blok Masela di Maluku. Ia disebut-sebut berhasil “membujuk” kontraktor asal Jepang, Inpex Corporation, untuk menurunkan biaya pembangunan kilang darat (Onshore LNG) di ladang kaya gas itu senilai US$ 5 miliar.
Santer juga beredar kabar bahwa keputusan Presiden Jokowi memilih pengembangan Blok Masela dengan skema darat ketimbang offshore atau kilang terapung (floating LNG) juga tak lepas dari bisikan Arcandra.
Sejak itu, Presiden sudah “kepincut” dengan sosok ahli migas yang sudah bermukim di AS 20 tahun lamanya ini.
Pertanyaannya, lagi-lagi soal seberapa valid argumen itu? Sejumlah praktisi migas senior mempertanyakan, bagaimana mungkin hanya dalam sekali pertemuan, bisa dicapai kesepakatan kalkulasi baru biaya pengembangan Blok Masela. Sebab, biasanya dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk bisa mendapatkan kisaran biaya final di tahap final investment decision (FID), yang akan menjadi penentu akhir apakah sebuah proyek jadi berlanjut atau tidak.
Pihak Inpex sendiri pernah mengutarakan bahwa revisi Rencana Pengembangan (PoD) Blok Masela—setelah Presiden memutuskan skema kilang darat—baru bisa diserahkannya pada 2019. Sedangkan tahap FID baru pada 2025.
Sejauh ini, tak ada penjelasan gamblang dan memadai di balik pernyataan Arcandra tentang penghematan US$ 5 miliar itu. Juga ihwal argumen tajam di balik rekomendasinya mengusulkan skema kilang darat kepada Presiden Jokowi.
Yang diketahui publik sejauh ini baru sebatas perdebatan dua kubu pendukung skema offshore dan onshore, sebelum Jokowi memutus kata final. Saat itu, Kementerian ESDM yang dipimpin oleh Sudirman Said, bersama Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi, ekonom senior Faisal Basri dan LPEM-UI mendukung skema kilang terapung (floating LNG) yang diusulkan Inpex dan Shell.
Di kubu lain, Menko Maritim Rizal Ramli bersama Luhut Pandjaitan ketika menjabat Menko Polhukam, Deputi Kantor Staf Kepresidenan Darmawan Prasodjo dan para alumni ITB angkatan 1973 (Fortuga) lebih memilih opsi kilang darat (Onshore LNG). Opsi ini pula yang diusung oleh Arcandra, dan akhirnya dipilih Jokowi.
Skema onshore dipilih, karena dinilai lebih menguntungkan dan bisa memberikan efek berganda bagi perekonomian rakyat Maluku. Selain itu, menurut kubu pendukung onshore, biayanya pun lebih murah ketimbang skema offshore.
Opsi ini dirasa kian meyakinkan ketika tersiar kabar bahwa Arcandra bahkan bisa “membujuk” Inpex untuk menurunkan biaya kilang darat hingga US$ 5 miliar.
Meskipun, banyak pula keraguan muncul, karena tak pernah ada penegasan langsung dari Inpex ihwal benar-tidaknya kabar itu.
Keraguan ini yang sebaiknya segera dijawab Arcandra secara terang-benderang. Sebagai seorang pakar migas, sebaiknya ia pun lebih terbuka memaparkan pemikirannya, apalagi jika benar bahwa dirinyalah “pembisik” utama kepada Presiden tentang pemilihan opsi kilang darat.
WoodMac dan Poten
Penjelasan gamblang Arcandra kian diperlukan berhubung belum lama ini terbit laporan tentang analisis Blok Masela dari lembaga riset ternama Wood Mackenzie, yang bertolak belakang dengan pandangannya.
Laporan berjudul “Onshore LNG: Evaluating the Option for Indonesia’s Abadi” itu dilansir pada 17 Agustus lalu, dua hari setelah Arcandra dilengserkan. Isinya pada dasarnya lebih menguatkan opsi offshore, ketimbang onshore. Kesimpulan ini sejalan dengan hasil kajian Poten & Partners, yang disewa oleh SKK Migas.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.