Melangkah Setelah Keputusan Presiden soal Masela
KATADATA - Dalam kunjungan kerja ke Entikong, Kalimantan Barat, Rabu (23/3) lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan keterangan pers di Bandara Internasional Supadio. Ia mengumumkan bahwa proyek Blok Masela diputuskan dibangun di darat dengan mempertimbangkan berbagai masukan dan saran yang diberikan.
Keputusan tersebut sudah tepat. Lalu, bagaimana kita mengawal dan menindaklanjuti keputusan Presiden?
Pertama, tentunya harus ada revisi POD (Plan Of Development) Lapangan Abadi, Blok Masela, yang semula diusulkan dengan skema Floating LNG. Revisi ini tidak mudah karena SOW (scope of work) atau cakupan pekerjaannya sama sekali berbeda. Inpex-Shell, yang sekarang sebagai operator blok tersebut, harus menginvestasikan waktu, tenaga, dan dana untuk memperbaiki POD.
Mungkin prosesnya membutuhkan waktu 6-12 bulan, bahkan bisa lebih lama. Sebab, menyangkut rencana pemasangan pipa bawah laut dari Lapangan Abadi ke darat, termasuk harus melakukan bathimetry survey dan mendesain foot-print pabrik LNG di darat yang disesuaikan dengan topografi dan rencana tata ruang dan peruntukkan pulau tersebut. Hal yang termasuk dalam studi AMDAL tersebut, juga membutuhkan waktu.
Kedua, setelah POD selesai, diusulkan lagi kepada SKK Migas untuk dikaji ulang. Lalu, diajukan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mendapatkan persetujuan.
Setelah disetujui pemerintah, secara paralel operator harus melakukan pematangan komersial ke para pembeli LNG untuk menandatangani gas sales agreement (GSA), dan melakukan kegiatan hulu, seperti membor dan menyelesaikan sumur. Selain itu, membangun fasilitas produksi di laut, seperti Floating Production Storage and Offloading (FPSO), melakukan pembebasan tanah, mengurus perizinan dan membuat Front-End Engineering Design (FEED). Selanjutnya, barulah nanti perusahaan atau operator tersebut mengeluarkan Final Investment Decision (FID).
Ketiga, fase pengerjaan proyek. Termasuk di dalamnya membuka tender EPC (engineering, procurement, construction), persetujuan pemenang oleh SKK Migas, mobilisasi pekerja dan equipment, untuk memulai pembangunan hingga commisioning dan star-up.
Keempat, memulai produksi dengan mengapalkan LNG.
(Baca: Kurang Pasokan, Badak NGL Akan Tutup Satu Unit Pengolahan)
Itulah kira-kira tahapan proyek jika pengembangan Blok Masela mengikuti konsep OLNG (Onshore LNG) atau LNG di darat. Tentunya setiap tahap akan memiliki tantangan dan kerumitan sendiri. Jika semua berjalan normal dan lancar, diperkirakan selesai dalam 7-9 tahun, sehingga jika semua pekerjaan dilakukan tahun ini, baru tahun 2023-2025 Blok Masela memproduksi LNG.
Lalu, kira-kira LNG tersebut mau dijual kemana? Dari hasil kajian McKinsey (2014), Indonesia akan membutuhkan LNG untuk mengimbangi kekurangan pasokan gas karena kebutuhan di tanah air terus meningkat. Diperkirakan tahun 2019 kita defisit gas hingga 3 mtpa (juta ton per tahun) atau sekitar 700 mmscfd.
Jika benar perkiraan LNG Blok Masela baru berproduksi tahun 2025, maka tentunya sebagian besar akan diperuntukkan menutup kebutuhan gas domestik. Hanya sebagian kecil yang masih bisa diekspor. Lagi-lagi pertanyaannya adalah: siapa yang mau membeli jika investasi dan ongkos operasinya saja sudah tinggi?
Dalam kajian lain, pada saat itu (2025) dunia sedang dilanda banjir LNG dari Australia, Qatar, Angola, Mozambique, Yaman dan lain-lain, dengan harga yang sangat kompetitif. Kalau benar demikian, maka LNG Masela akan terseok-seok bersaing di pasar internasional.
Konsep Hulu-Hilir
Berdasarkan situasi demikian, tidak salah kalau kita bertanya, mengapa kita masih memaksakan membuat pabrik LNG? Alih-alih berdebat antara FLNG dan OLNG, kenapa kita tidak menyodorkan konsep “Hulu dan Hilir” dalam pengembangan gas Masela?
Kita bisa meminta Inpex-Shell hanya berkewajiban mengeksploitasi gas dari dasar laut ke permukaan laut dengan menjual gas di-well head, yakni setelah dimurnikan di FPSO. Lalu meminta siapapun yang membutuhkan gas agar membelinya langsung di sana. Inilah yang disebut berjualan gas dengan harga free on-board (FOB).
Kita bisa meminta BUMN, seperti Pertamina, Perusahaan Listrik Negara (PLN), Perusahaan Gas Negara (PGN), PUSRI, Aneka Tambang, Krakatau Steel, atau pihak swasta seperti smelter Freeport dan Petrokimia, untuk membeli gas tersebut. Gas itu diambil dengan kapal-kapal CNG yang disewa dari perusahan BUMN, seperti Pertamina, dan PAL atau perusahaan swasta.
(Baca: Kawal Putusan Jokowi Soal Blok Masela, Sudirman Buat 4 Langkah)
Dengan begitu, industri-industri strategis nasional yang bertumbuh bergandengan dengan industri maritim untuk memperkokoh kedaulatan negara Indonesia. Kapal-kapal kecil CNG dapat menyuplai gas sampai ke pelosok pulau-pulau dimanapun, baik untuk bahan bakar atau baku pembangkit listrik, petrokimia (termasuk pupuk), pabrik keramik, smelter, dan lain-lain.
Lalu, bagaimana jika Inpex-Shell atau perusahaan lain masih ingin menjual gas tersebut ke pasar dunia? Bukankah mengapalkan CNG dalam jarak jauh ( di atas 3.000 kilometer) tidak ekonomis?
Jika demikian yang diinginkan, maka CNG dapat dikirim ke PT Badak NGL di Bontang, Kalimantan Timur, untuk dijadikan LNG. Dari sana kemudian LNG dikapalkan ke lokasi tujuan pembeli.
Badak NGL pada tahun ini dan tahun-tahun ke depan akan terus kekurangan pasokan gas. Dengan hanya mengoperasikan 3 train dari 8 train yang ada, Badak akan memiliki 5 train iddle yang dapat menyerap dan memproduksi LNG hingga 12 mtpa.
Kalaupun semua gas Masela yang hanya 7,5 mtpa akan dijadikan LNG, maka sudah lebih dari cukup untuk diproses di Bontang. Tidak perlu membangun pabrik baru LNG.
Namun, bukan berarti konsep tersebut tidak akan memberikan efek berantai bagi masyarakat Maluku dan sekitarnya. Dengan nilai investasi yang jauh lebih kecil, hanya sekitar US$ 9 miliar untuk konsep CNG dibandingkan US$ 14-18 miliar pada konsep LNG, berarti ada selisih sekitar US$ 5 miliar. Sedangkan penyelesaian proyeknya jauh lebih cepat (3 tahun dibandingkan 7-9 tahun), maka banyak hal yang bisa kita perbuat.
Kita dapat membangun infrastruktur, seperti jalan dan jembatan, bandar udara, pelabuhan, rumah sakit, sekolah, universitas, pabrik pupuk, dan petrokimia berbasis gas. Selain itu, peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui kesehatan, pendidikan gratis, penaikan gaji PNS, penaikan UMR, dan hal-hal lain untuk daerah Maluku dan sekitarnya. Bukan hanya Maluku tapi dapat didistribusikan ke semua pulau yang membutuhkan gas, seperti Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan lain-lain.
(Baca: Jokowi Putuskan Skema Pengembangan Blok Masela di Darat)
Jadi, kesimpulannya, keputusan Presiden yang menolak pembangunan LNG di laut sudah sangat tepat. Tapi untuk membangun LNG di darat perlu mempertimbangkan beberapa hal.
Pertama, untuk apa membangun pabrik LNG jika kita masih punya aset negara di PT Badak yang bisa dimanfaatkan? Apalagi, jika sebagian besar gas tersebut untuk domestik maka menjadikannya LNG akan memboroskan dua kali biaya, yaitu membuat LNG dan regasifikasi. Jadi konsep CNG sangat cocok.
Kedua, jika kita ingin mengembangkan proyek gas Masela lebih cepat dan ekonomis, pisahkan antara proyek hulu dan hilir. Beban negara akan lebih kecil dengan skema cost recovery yang lebih efisien. Skema ini sekaligus akan mendorong industri hilir maju lebih cepat dengan berbagi risiko dan investasi. Inpex-Shell dapat menjual gasnya di-well-head, lalu para pembeli mengambilnya dengan harga FOB melalui kapal CNG.
Ketiga, jika ada pembeli internasional yang berminat, atau penjual domestik yang ingin mengekspor gas tersebut, gunakan lima fasilitas kilang PT Badak yang iddle untuk membuat LNG. Setelah itu dikapalkan ke negara tujuan.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.