Penegakan Hukum Persaingan Usaha di Era Pandemi

Kurnia Togar P Tanjung
Oleh Kurnia Togar P Tanjung
16 Juni 2020, 11:00
Kurnia Togar P Tanjung
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata

Pembelajaran misalnya dapat diambil dari otoritas persaingan usaha di Afrika Selatan. Otoritas di sana secara terang-terangan bahkan telah menyatakan tidak akan mengaplikasikan penegakan hukum di berbagai sektor penting seperti perbankan dan jasa kesehatan selama pandemi.

Contoh pelonggaran penegakan hukum juga dapat dilihat di Jerman. Bundeskartellamt, otoritas persaingan usaha di Jerman, telah menegaskan di bulan April bahwa mereka akan menangguhkan investigasi terhadap dugaan perskongkolan tender antara operator televisi berbayar, Sky, dan penyedia jasa streaming tayangan olahraga, DAZN, dalam penyediaan hak siar UEFA Champions League.

Presiden Bundeskartellamt menilai bahwa dampak pandemi yang membuat berbagai kompetisi sepakbola di Eropa tertunda kelanjutannya, membuat mereka kesulitan untuk membuat analisis dampak terhadap dugaan persekongkolan tender yang terjadi. Menurut mereka, tidaklah beralasan bagi otoritas persaingan usaha untuk tetap melanjutkan investigasi kasus sedangkan dampak dari tindakan tersebut tidak dapat dijustifikasi di tengah kondisi pasar yang memang tidak bekerja secara semestinya karena pandemi.

Catatan lain dalam penegakan hukum persaingan usaha adalah soal merger-control. Salah satu tugas otoritas persaingan usaha, termasuk KPPU, adalah melakukan pengawasan terhadap sebuah aksi korporasi seperti penggabungan, akuisisi atau konslidasi dengan menilai potensi dampaknya terhadap persaingan di pasar. KPPU dapat mengeluarkan rekomendasi agar sebuah rencana merger tidak dilanjutkan dengan alasan potensi konsentrasi pasar yang terlalu tinggi pasca merger akan menjadi disinsentif bagi persaingan usaha.

(Baca: KPPU Temukan 34 Provinsi Jual Gula Pasir di Atas Harga Eceran)

Hanya saja, pandemi yang membuat banyak bisnis babak-belur, perlu juga jadi pertimbangan untuk melonggarkan pengawasan aksi korporasi tersebut. Gelombang merger di era pandemi mungkin saja akan terjadi untuk memastikan kelangsungan hidup berbagai pelaku usaha. Merger horizontal, penggabungan antara dua perusahaan yang memproduksi atau menjual barang atau jasa sejenis yang semestinya bersaing, mungkin saja marak terjadi dengan alasan untuk menyelamatkan diri (rescue merger) dari penutupan.

Walaupun mungkin saja merger yang terjadi menghadirkan konsentrasi baru di dalam pasar, hal tersebut menjadi pilihan satu-satunya untuk meminimalisasi dampak yang lebih besar seperti pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran atau bahkan membuat banyak pelaku usaha mati dan ujung-ujungnya menciptakan konsentrasi baru juga di dalam pasar. Dengan merger, eksistensi kedua pelaku usaha yang melakukan merger dapat terjaga dalam jangka panjang dan memastikan konsumen tetap memiliki opsi di kemdian hari.

Normalitas baru (new-normal) tidak hanya menghampiri kehidupan sehari-hari. Dunia bisnis juga akan beradaptasi dengan hal tersebut. Bagi KPPU, new-normal, berarti melahirkan berbagai pertimbangan baru dalam menegakkan hukum persaingan usaha yang tetap dapat melindungi masyarakat dari praktik anti persaingan namun tetap pula memperhitungkan dunia bisnis yang terdampak hebat oleh pandemi.

Halaman:
Kurnia Togar P Tanjung
Kurnia Togar P Tanjung
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Editor: Redaksi

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...