Quo Vadis Badan Restorasi Gambut

Rio Christiawan
Oleh Rio Christiawan
25 Juli 2020, 11:00
Rio Christiawan
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata

Sebaliknya, mengacu pada Pasal 14 Peraturan Menteri KLHK Nomor P.14/Menlhk/Setjen/Kum.1/2/2017 kedudukan BRG adalah pada fungsi supporting dan asistensi dari-kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), khususnya pada restorasi lahan gambut. Konsekuensi dari Peraturan Menteri LHK tersebut adalah terhapusnya fungsi BRG sebagai sebuah badan sehingga memang dalam perspektif Peraturan Menteri tersebut kedudukan BRG memang tumpang tindih dengan fungsi yang ada dalam KLHK.

Artinya, dalam hal ini guna menjawab apakah ada urgensi untuk memperpanjang BRG yang akan berakhir pada akhir Desember 2020, maka jawabannya adalah perlu diputuskan terkait kedudukan BRG secara formal. Hal yang sudah pasti adalah masih tingginya urgensi restorasi gambut. Hanya saja apakah pelaksanaannya diserahkan pada BRG secara mandiri sesuai Perpres pembentukan BRG atau dilebur dalam satu fungsi asistensi terkait dengan restorasi gambut pada fungsi KLHK sesuai Peraturan Menteri LHK.

Jika melihat pada efisiensi kelembagaan dan mengingat fungsi BRG baik secara teknis maupun regulasi sangat berkaitan dengan fungsi restorasi lingkungan (restorasi gambut merupakan bagian dari fungsi restorasi lingkungan) maka idealnya BRG dilebur dalam KLHK, sehingga ke depannya Kementerian membawahi fungsi teknis restorasi gambut sekaligus menjalankan fungsi penegakan hukumnya (enforcement). Dengan demikian maka fungsi restorasi gambut tetap dapat dilaksanakan sekaligus tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dan fungsi antar lembaga negara.

Persoalan kedua, dalam hal menilai urgensi BRG adalah perdebatan yang belum usai antara kalangan prokonservasi dan kalangan pro-development. BRG dipandang mewakili kalangan prokonservasi yang cenderung merestorasi gambut untuk kepentingan konservasi. Hal ini terlihat dari aturan yang lahir bersamaan dengan dibentuknya BRG seperti Peraturan pemerintah (PP) Nomor 57 tahun 2016 tentang  Perubahan atas PP Nomor 71 tahun 2014 beserta peraturan turunannya yang cenderung membatasi pembukaan lahan gambut untuk kepentingan komersial dan memperluas kepentingan konservasi dan restorasi pada lahan gambut yang ada.

Kondisi tersebut mendapat sejumlah kritik dari kalangan pro-development yang cenderung memanfaatkan lahan gambut untuk kepentingan komersial. Hal ini terlihat dari Surat Menteri Perindustrian Republik Indonesia sudah mengirim surat kepada Presiden melalui surat Nomor 149/ M- IND/3/2017 tanggal 30 Maret 2017 yang berisi catatan para pemangku kepentingan yang disampaikan kepada Menteri Perindustrian Republik Indonesia beserta usulan alternatif penyelesaian persoalan regulasi gambut.

Saat ini persoalan restorasi gambut perlu mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah baik terkait fungsi kelembagaan yang akan melakukan fungsi penataan ekosistem gambut maupun pemanfaatan lahan gambut untuk kepentingan investasi. Sehingga esensinya saat ini pemerintah selain perlu menata secara kelembagaan juga perlu mengurai regulasi terkait gambut lindung yang harus dikonservasikan dan gambut budidaya yang dapat dimanfaatkan secara komersial sebagai landasan institusi yang kelak akan menata fungsi restorasi gambut terlepas apakah pemerintah akan memperpanjang masa tugas BRG atau sebaliknya.

Halaman:
Rio Christiawan
Rio Christiawan
Dosen Program Studi Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya, Spesialisasi Hukum Lingkungan dan Agraria
Editor: Redaksi

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...