Perlukah Sertifikat Tanah Elektronik

Rio Christiawan
Oleh Rio Christiawan
19 Februari 2021, 07:00
Rio Christiawan
Ilustrator: Joshua Siringo Ringo | Katadata
Warga mengurus surat tanah di Kantor Perwakilan Pertanahan Kabupaten Bogor, Cileungsi, Bogor, Jawa Barat, Rabu (17/2/2021). Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional menjelaskan pelaksanaan pergantian sertifikat tanah dari bentuk fisik menjadi elektronik (sertifikat-el) akan dilakukan secara bertahap.

Jika hanya berfungsi mengubah bentuk buku tanpa berkaitan dengan hal-hal yang dibutuhkan masyarakat, sertifikat elektronik tidak akan banyak bermanfaat. Sebaliknya, justru akan rawan terjadi persoalan lain karena sertifikat hak atas tanah memiliki banyak fungsi dan kaitan dengan berbagai aspek. Jika tidak dapat menjawab apa yang dibutuhkan masyarakat, sertifikat elektronik ini akan menjadi seperti online single submission (OSS) yang hanya dapat dipergunakan untuk mengurus sebagian perizinan berusaha saja.

Padahal, banyak perizinan penting yang tidak dapat diurus melalui OSS, hal serupa juga akan terjadi pada fungsi sertifikat elektronik bila tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan kepastian hukum dan kemudahan pengurusan hak atas tanah. Jika mengacu pada penjelasan tertulis BPN pada akhir Januari lalu, tujuan sertifikat elektronik guna memangkas birokrasi pengurusan hak atas tanah dan kepentingan terkait lainnya seperti fungsi jaminan, pemasangan hak tanggungan hingga fungsi pengawasan seperti tanah terlantar.

Jadi, menarik untuk mencermati korelasi antara perubahan bentuk sertifikat tanah menjadi sertifikat elektronik dan kemudahan pengurusan hak atas tanah dan fungsi lainnya. Logikanya, sertifikat tanah adalah bukti kepemilikan hak atas tanah, sedangkan memangkas birokrasi pengurusan (debirokrasi) mengacu pada syarat untuk memperoleh hak atas tanah.

Demikian juga jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, tidak terdapat korelasi positif -baik terkait kemudahan maupun pengawasan- pada fungsi penjaminan. Hal serupa terjadi pada fungsi pengawasan atas penggunaan hak atas tanah yang belum berubah signifikan atas perubahan model sertifikat dari bentuk konvensional dan elektronik.

Catatan terakhir terkait perubahan bentuk sertifikat adalah inventarisasi sertifikat fisik yang sudah ada guna dikonversi ke dalam bentuk elektronik pada masing masing bidang tanah. Termasuk mekanisme penyelesaian jika pada satu bidang tanah diketahui memiliki lebih dari satu sertifikat fisik. Perlu ada mekanisme yang menentukan pemilik sertifikat yang sah untuk dikonversi pada sertifikat elektronik.

Demikian pula perlu diatur mengenai pertanggung jawaban negara -dalam hal ini BPN- jika dikemudian hari terdapat kesalahan sistem (technical error) yang merugikan pemegang hak atas tanah. Dengan demikian dapatlah dikatakan untuk optimalnya Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2021 perlu dilengkapi dengan perangkat hukum lain.

Halaman:
Rio Christiawan
Rio Christiawan
Dosen Program Studi Hukum Bisnis Universitas Prasetiya Mulya, Spesialisasi Hukum Lingkungan dan Agraria

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke [email protected] disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...