Iklim Investasi Hulu Migas

A. Rinto Pudyantoro
Oleh A. Rinto Pudyantoro
23 Juni 2021, 15:37
Rinto Pudyantoro
Ilustrator: Betaria Sarulina

Investasi pada bisnis hulu migas bisa dikelompokan menjadi dua, yaitu investasi pada masa eksploitasi dan eksplorasi. 

Investasi pada masa eksploitasi atau setelah penemuan cadangan migas, seperti membangun fasilitas produksi, mengganti peralatan, melakukan berbagai perbaikan, mengebor sumur baru, memperdalam sumur lama dan pindah lapisan. Tujuannya untuk meningkatkan produksi atau mengoptimalkan pemanfaatan cadangan migas. Pada masa ini kegiatan eksplorasi juga diperkenankan menurut kontrak kerja sama, yaitu kegiatan eksplorasi pada wilayah kerja (WK) migas lama di lapangan-lapangan yang potensial. 

Investasi pada masa eksplorasi bertujuan untuk menemukan cadangan migas yang dilakukan di WK baru. Pada masa ini memerlukan investor baru untuk masuk ke industri hulu migas Indonesia. 

Yang membedakan antara investasi pada masa eksploitasi dan eksplorasi adalah pada perlakuan terhadap uang yang diinvestasikan dan handling terhadap risiko. 

Secara umum, uang yang diinvestasikan pada masa eksploitasi pada suatu saat akan menjadi biaya dan akan diperhitungkan sebagai bagian dari pemulihan biaya atau yang sering disebut dengan cost recovery. Dengan catatan, hal ini tidak berlaku untuk pembatasan pemulihan biaya berdasarkan POD basis.

Sedangkan investasi pada masa eksplorasi seluruhnya menjadi beban investor. Dalam bahasa kontrak kerja sama dimaknai,  seluruh risiko ditanggung kontraktor. Tidak terkecuali risiko teknis dan risiko finansial.

Kedua tipe investasi ini sama pentingnya. Investasi pada masa eksploitasi umumnya mengarah pada horizon waktu pendek dan menengah. Sedangkan untuk jangka panjang dan untuk sustainability cadangan migas nasional, investasi pada masa eksplorasi lebih diperlukan.

Migas
Investasi hulu migas (Katadata | Dok.)

Faktor Internal dan Eksternal

Dari sudut pandang pengelola bisnis hulu migas, yaitu SKK Migas, iklim investasi hulu migas dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. 

Faktor internal berarti bagaimana pengelola bisnis hulu migas mampu turut serta menentukan dan menciptakan iklim investasi. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor di luar kendali pengelola dan pengawas kegiatan hulu migas. 

Pak Amien Sunaryadi (akuntan yang menjadi kepala SKK Migas 2014-2018) diberikan tugas untuk menata ulang SKK Migas, sekaligus meletakan dasar-dasar penting tentang cara-cara berbisnis yang tidak bersentuhan dengan praktik-praktik koruptif. Terkait hal itu, paling sedikit ada dua hal penting yang berhasil dilakukan Pak Amin.

Pertama, meletakan nilai 4 No, yaitu No Bribery, No Kickback, No Gift, No Luxurious Hospitality. Kedua, menjadikan SKK Migas institusi pemerintah pertama yang memperoleh sertifikasi ISO 37001, yaitu ISO sistem manajemen anti penyuapan (SMAP).

Pak Dwi Sutjipto kini melanjutkan semangat Pak Amien dan sudah mulai fokus membangun industri hulu migas. Salah satunya dengan menggulirkan transformasi organisasi dalam wujud Indonesia Oil and Gas 4.0. (IOG 4.0). Strategi ini dirancang dengan sungguh-sungguh, rinci dengan mencantumkan ratusan program inisiatif yang mengarah pada pengelolaan operasional hulu migas. 

Apakah yang dilakukan Pak Amien dan Pak Dwi berdampak pada iklim investasi?

Pengadaan barang dan jasa diupayakan dipercepat. Pengaturan internal di kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang  masih di bawah kendali SKK Migas sehingga bisa diintervensi diupayakan bisa lebih efektif. Demikian juga persetujuan proposal pengadaan bisa dibuat dan disiasati lebih efesien tanpa harus melanggar aturan, pada saat barang harus diimpor masuk ke Indonesia, Kontraktor wajib berhubungan dengan bea cukai dan pajak,  mengikuti ketentuan dan aturan yang ditetapkan oleh institusi di luar kendali KKKS dan SKK Migas.

Jadi, ada tahapan percepatan yang secara internal bisa diupayakan. Namun, pada satu tahapan tertentu tidak bisa lagi proses bisnis di kegiatan hulu migas menghindari bersentuhan dengan pihak eksternal.  

Bercermin pada studi Fraser yang mengamati 16 faktor yang ‘menentukan’ tolok ukur investment attractiveness, nampak bahwa semua faktor penentu itu di luar kendali pengelola kegiatan hulu migas. 

Ke-16 faktor tersebut adalah: (1) quality of geological database, (2) labor availability & skills, (3) labor regulations and employment agreements, (4) fiscal terms, (5) taxation, (6) regulatory enforcement, (7) environmental regulationscost, (8) regulatory compliance, (9) regulatory duplications & uncertainties, (10) legal system. (11)  protected areas, (12) trade barriers, (13) quality of infrastructure, (14) disputed land claims, (15) political stability, dan (16) security. 

Quality of geological database menjadi kewenangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Beruntung badan pengelola kegiatan hulu migas saat ini berada di bawah Kementerian sehingga bisa dibebani tugas tersebut. Namun, pada akhirnya tetap saja yang memiliki kewenangan adalah Kementerian ESDM.  

Labor availability & skills menjadi urusan Kementerian Ketenagakerjaan dan juga Kementerian Pendidikan. Labor regulations and employment agreements beririsan antara kewenangan Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian ESDM. Fiscal terms menjadi kewenangan Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan. Taxation termasuk kepabean dan Trade barriers merupakan kewenangan Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Investasi. 

Regulatory enforcement, environmental regulations cost, regulatory compliance, regulatory duplications & uncertainties, dan Legal system merupakan faktor yang kompleks melibatkan berbagai instirusi.  Protected areas dan disputed land claims adalah persoalan klasik yang menyebabkan hak operasional investor terdampak yang pada gilirannya dapat memperlambat operasional.

Ketika WK migas diperoleh investor semestinya clear and clean, tidak ada persoalan tumpang tindih lahan atau masalah perizinan lain. Pada beberapa kasus, pemerintahan daerah dan masyarakat, baik langsung atau tidak langsung, melalui lembaga swada masyarakat (LSM) nampaknya turut menentukan penyelesaian masalah. 

Quality of infrastructure merupakan kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan pemerintah daerah. Political stability banyak dipengaruhi oleh partai politik dan lembaga pendukung lainnya. Meskipun, tentu saja, peran pemerintah cukup sentral untuk menjamin stabilitas politik. Terakhir security. Kenyaman berinvestasi ditentukan oleh perasaan aman. TNI, Polri, Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi gantungan harapan untuk terciptanya keamanan.   

Iklim investasi merupakan urusan bersama yang melibatkan banyak lembaga pemerintah. Bahkan juga memerlukan dukungan dari semua pihak, tidak terkecuali DPR dan masyarakat umum. Karena urusan bersama, maka harus dipastikan  semua pihak memiliki ‘pesan yang sama’ untuk memajukan industri hulu migas dan menciptakan iklim investasi hulu migas yang kondusif.

Iklim investasi merupakan salah satu pertimbangan yang paling penting bagi investor untuk memilih negara mana yang akan dituju. Negara dengan investment attractiveness yang baik umumnya memiliki country risk yang relatif rendah. Semua negara senantiasa mengupayakan menjadi negara tujuan investasi. Termasuk Indonesia yang harus bersaing dengan Malaysia, India, China, Australia dan negara-negara penghasil migas lainnya untuk menarik investasi perusahaan multi nasional.

Selanjutnya: Isu Global

Isu Global

Sekalipun faktor eksternal yang masih dalam kendali pemerintah di atas dapat diatasi, rupanya ada faktor eksternal lainnya yang harus dihadapi yaitu isu global.

Salah satunya adalah fluktuasi harga minyak dan gas bumi. Ketika harga minyak di 2012 mencapai level US$ 100 per barrel, maka gairah investasi meningkat. Perusahaan minyak berlomba-lomba memaksimumkan keuntungan.

Sebaliknya, di awal 2016 saat harga minyak bumi turun drastis dari yang sebelumnya sekitar US$ 60 per barrel lalu terjun bebas menuju US$ 35 per barel, banyak perusahaan minyak menahan diri untuk melakukan investasi besar-besaran. 

Isu global Covid-19 juga sangat berpengaruh terhadap investasi hulu migas. Pertama, berdampak pada harga minyak yang yang pada awal  2020 sempat tertekan mendekati level US$ 30 per barel. Walaunpun harga minyak sudah terkoreksi, akan tetapi Covid-19 masih berdampak pada operasional perusahaan secara umum. Wabah ini berdampak pada pergerakan barang dan orang, yang pada ujungnya membatasi investasi. 

Isu lainnya yang tidak kalah penting adalah kecenderungan perusahaan minyak, terutama di Eropa, melakukan transisi energi (energy transition). Transisi ini menggeser intensi bisnisnya dari  migas dan energi fossil menjadi energi non-fossil

Beberapa perusahaan minyak sudah meletakkan semangat transisi energi sedari lama. Salah satunya BP. Sekitar 20 tahun lalu perusahaan minyak Inggris ini mengubah branding menjadi beyond petroleum. Sebuah semangat untuk meletakan strategi perusahaannya tidak lagi hanya bergantung pada bisnis perminyakan, namun lebih dari itu, menuju perusahan energi dengan mengembangkan energi baru terbarukan.

Perusahaan minyak lainnya, seperti Shells dan Eni juga berganti baju, memperluas cakupan bisnisnya berubah menjadi perusahaan energi. Tidak lagi sebatas sebagai perusahaan minyak.

Transisi energi mengisyaratkan terjadinya pergeseran keputusan investasi. Uang yang semula disediakan untuk eksplorasi migas dan mencari cadangan migas dipindahkan untuk mengembangkan energi baru terbarukan. Pada 2020, perusahaan minyak seluruh dunia menurunkan investasi energi fosil hingga sekitar 30%, dan mengalihkan pada pengembangan energi non-fossil.  

Kondisi ini membuat semakit ketat kompetisi untuk menarik perusahaan minyak untuk masuk ke industri hulu migas. Negara penghasil migas, termasuk Indonesia harus segera bersolek, memperbaiki iklim investasi. Berpenampilan cantik secara kasat mata, tapi juga perlu menampilkan inner beauty Indonesia. Biarlah itu menjadi daya tarik bagi para investor hulu migas. 

Penutup

Faktor-faktor yang dapat dikendalikan oleh pengelola kegiatan hulu migas relatif berdampak pada investasi pada masa eksploitasi. Sementara faktor eksternal merupakan faktor dominan dan memberikan dampak besar terhadap iklim investasi hulu migas. 

Penguatan organisasi melalui transformasi dan perbaikan tata kelola secara internal wajib diberikan apresiasi. Demikian juga dengan upaya mempengaruhi dan mengajak pihak eksternal dalam mendukung kegiatan hulu migas, juga wajib mendapat penghargaan. Namun, jika itu dimaksudkan untuk memberikan dampak terhadap iklim investasi rasanya perlu pengamatan lebih lanjut untuk mengukur tingkat pengaruhnya.

Demikian juga terlalu naif jika single action, seperti peluncuran PSC Gross split, diklaim mampu mengubah iklim investasi. Sebab sedemikian banyak elemen dan faktor penyebab yang sekaligus faktor pembentuk iklim investasi. 

Iklim investasi hanya dapat diwujudkan jika terjadi kolaborasi dan koordanasi dari semua pihak yang memiliki pemahaman yang sama: bahwa investasi hulu migas itu ‘maha’ penting dan patut untuk diperjuangkan. 

A. Rinto Pudyantoro
A. Rinto Pudyantoro
Dosen Ekonomi Energi Universitas Pertamina dan Penulis Buku Bisnis Migas
Editor: Redaksi

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...