Tiga Capaian Buruk Pendidikan di Indonesia sejak Tahun 2000

Luhur Bima
Oleh Luhur Bima
20 Agustus 2021, 08:15
Luhur Bima
Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Siswa kelas enam mengikuti ujian kelulusan yang dilaksanakan secara mandiri oleh satuan pendidikan di SDN Lawangan Daya 2, Pamekasan, Jawa Timur, Sabtu (29/5/2021). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Surat Edaran Mendikbud Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Peniadaan Ujian Nasional dan Ujian Kesetaraan serta Pelaksanaan Ujian Sekolah dalam masa Darurat Penyebaran Covid-19.
Data Tiga Capaian Buruk Pendidikan 2
Data Tiga Capaian Buruk Pendidikan 2 (Katadata | Istimewa: The Conversation)

Ketiga, ketika membandingkan daat IFLS tahun 2014 dengan tahun 2000, kami menemukan bahwa kemampuan berhitung anak pada tahun 2000 relatif lebih tinggi dibandingkan anak di jenjang yang sama 14 tahun kemudian.

Dari Gambar 3, kita bisa melihat bahwa capaian anak di setiap jenjang pada 2014 secara konsisten berada di bawah capaian tahun 2000.

Kesimpulan ini berlaku baik saat kami hanya menganalisis kelompok anak yang bersekolah, maupun saat kami memasukkan juga anak-anak usia tersebut yang tidak bersekolah. Artinya, setidaknya selama tahun 2000 hingga 2014, capaian pendidikan anak di Indonesia justru mengalami penurunan.

Data Tiga Capaian Buruk Pendidikan 3
Data Tiga Capaian Buruk Pendidikan 3 (Katadata | Istimewa: The Conversation)


Analis kami dengan data yang tersedia belum menjelaskan lebih dalam tentang faktor-faktor yang menyebabkan tren negatif tersebut pada pembelajaran anak di Indonesia. Namun kami memiliki beberapa dugaan tentang hal-hal apa saja yang mendorong penurunan capaian belajar ini – setidaknya untuk kemampuan berhitung.

Salah satunya adalah perubahan terkait muatan berhitung sejak Kurikulum 2004.

Perubahan ini membuat jam belajar untuk berhitung yang tadinya 8-10 jam (Kurikulum 1994) menjadi 5 jam per minggu sehingga dapat memengaruhi kemampuan murid dalam numerasi dan pemecahan masalah (problem solving) berbasis hitungan.

Lalu, kebijakan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang membuat bobot ujian sekolah terhadap kelulusan terus dikurangi sejak 2003 – dan lebih mementingkan Ujian Nasional (UN) – juga banyak mendorong murid untuk belajar hanya demi kelulusan dan tidak untuk mengasah pengetahuan dan kemampuan berpikir.

Selain itu, ada pula kecenderungan di Indonesia di mana murid [tetap naik kelas] walaupun kemampuannya belum mencukupi. Di sini, asesmen dan evaluasi capaian belajar yang tidak akurat membuat murid kehilangan kesempatan untuk memperkuat pemahaman atas materi yang belum mereka kuasai di jenjang mereka sebelumnya.

Darurat Capaian Belajar Aanak Bangsa

Hasil studi ini hendaknya menjadi sinyal lampu kuning bagi segenap pemangku kepentingan di sektor pendidikan untuk segera melakukan perbaikan. Meskipun ini baru meninjau capaian belajar selama 2000-2014, saya berpendapat bahwa tren negatif di atas kemungkinan besar juga terus terjadi dari tahun 2015 hingga saat ini. Pandemi Covid-19 bahkan berpotensi semakin memperparah ketertinggalan belajar murid di Indonesia.

Pemerintah pusat dan daerah perlu mengubah kebijakan pendidikan yang saat ini masih cenderung didorong faktor politik – dari kebiasaan memamerkan capaian nasional terkait akses anak untuk sekolah, hingga terjebak pada politik peningkatan kesejahteraan guru saat masa pemilu.

Sudah saatnya pemerintah secara serius memikirkan kebijakan yang benar-benar berorientasi pada peningkatan kualitas belajar anak di sekolah.

Misalnya, sistem perekrutan guru, khususnya di sekolah negeri, seharusnya berdasarkan indikator yang mengukur kemampuan mereka dalam mengajar murid ketimbang lebih berat untuk memenuhi kuota Aparatur Sipil Negara (ASN).

Selain itu, evaluasi belajar yang dilakukan sekolah – baik melalui asesmen dari guru maupun melalui ujian – harus dilakukan dengan fokus memetakan capaian mereka dan sebagai landasan bagi guru menyusun strategi pembelajaran, ketimbang hanya sebagai alat pemeringkatan. Beberapa tahun ini, misalnya, nilai rerata UN sering digunakan sekadar untuk memberikan ranking sekolah, atau untuk menentukan besaran ‘Dana Insentif Daerah’ dari pemerintah pusat.

Orang tua dan guru pun harus mengubah cara pandang lama bahwa anak sekolah untuk mendapat nilai ujian yang tinggi. Semestinya, proses pembelajaran yang baik adalah untuk memahami konsep hingga tuntas tanpa harus berlomba-lomba.The Conversation

Halaman:
Luhur Bima
Luhur Bima
Senior Researcher, SMERU Research Institute
Artikel ini terbit pertama kali di:

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...