Mengapa Sistem Peringatan Dini Gagal Selamatkan Warga Sekitar Semeru?

Jonatan A Lassa
Oleh Jonatan A Lassa
11 Desember 2021, 11:00
Jonatan A Lassa
Katadata/Ilustrasi: Joshua Siringo-Ringo
Tim SAR gabungan bersama Marinir mencari korban yang tertimbun di jalur material guguran awan panas Gunung Semeru di Curah Koboan, Pronojiwo, Jawa Timur, Kamis (9/12/2021). Pencarian korban guguran awan panas Gunung Semeru difokuskan di sejumlah titik di antaranya Kajar Kuning, Sumber Wuluh, Curah Koboan dan Pronojiwo. ANTARA FOTO/Umarul Faruq/hp.

Pertama, pada aliran atas yakni pada gunung api itu sendiri (hulu), letusan akibat interaksi tersebut di atas akan menimbulkan ‘sensasi letusan’ menghasilkan guguran (awan debu panas) dari kubah lava. Guguran awan debu panas alias APG ini bila bersentuhan secara langsung pada pada penduduk sekitar, akan berpotensi mematikan.

Kedua, pada sisi aliran bawah atau hilir, di sungai-sungai di sekitar bawah gunung, hujan deras akan membawa sedimen alias lahar yang mewujud sempurna dalam wajah banjir lahar.

Dari pernyataan PVBMG di atas dapat kita ketahui bahwa manakala awan panas guguran memasuki lembah sungai Kobokan Lumajang dan berinteraksi dengan air sungai beserta material lama yang terdapat di dalam badan sungai, ia akan membentuk aliran lahar sepanjang aliran sungai Kobokan.

Dusun Kamar Kajang Tertimbun Material Gunung Semeru
Dusun Kamar Kajang, Jawa Timur, tertimbun material Gunung Semeru. ( ANTARA FOTO/Zabur Karuru/hp.)

Lalu bagaimana peringatan dini letusan sekunder?

Terdapat perdebatan dan kontroversi terkait ada atau tidaknya sistem peringatan dini dalam kasus gunung Semeru. Setidaknya enam hal penting yang perlu dijelaskan sekaligus dilakukan di Indonesia.

Pertama, dalam klasifikasi Status Gunung Api dari Normal, Waspada, Siaga dan Awas, energi dan fokus seringkali lebih tercurahkan pada ancaman primer gunung api yakni skenario terburuk - letusan primer.

Walau disadari bahwa secara probabilitas (dan terbukti secara empiris di Semeru), “ancaman sekunder” tidak kalah mematikan dan merugikan bila tidak dibangun perencanaan kesiap-siagaan bencana vulkanik secara memadai.

Kedua, karakter ancaman sekunder harus dipantau secara sama seriusnya dengan ancaman primer. Pemerintah daerah maupun masyarakat wajib membangun sistem peringatan dini yang terhubung antara PVBMG dengan struktur tanggap di tingkat paling bawah yakni desa, RT/RW.

Ketiga, sistem peringatan dini yang sehat harus mampu menyelamatkan nyawa manusia. Klaim terkait adanya sistem peringatan dini yang berfungsi baik tapi tidak mampu menyelamatkan rakyat sekitar hanya sebuah pernyataan prosedural birokrasi yang elitis dan tidak ada kaitannya dengan perlindungan rakyat.

Keempat, pentingnya secara rutin merawat arsitektur sistem peringatan dini yang end-to-end, yakni dari kelembagaan lapisan atas seperti PVBMG yang terhubung dengan masyarakat akar rumput.

Kelima, proses merawat sistem peringan dini di atas harus dimulai dengan mengurangi sentralitas pemantauan oleh PVMBG saja. Pemerintah harus mendesentralisasi sistem komunikasi risiko gunung api secara holistik dan terpadu.

Sebagai misal, sistem peringatan dini ini harus bersifat dua arah sehingga pemantauan terhadap faktor sosial secara partisipatif bisa terhubung dengan pemantauan fisik PVMBG. Lembaga Penanganan Bencana Daerah (PBBD) dan PVMBG perlu secara proaktif bersama masyarakat dan melakukan mitigasi, kesiapsiagaan.

Secara teknis PVMBG perlu memahami secara baik terkait karakter musiman interaksi gunung api dengan iklim dan cuaca ekstrim dan mengkomunikasikannya pada pemerintah daerah dan masyarakat.

Keenam, integrasi antara pemantauan bahaya gunung api dan sistem peringatan dini yang menyertainya, wajib diintegrasikan dengan peringatan dini iklim dan cuaca ekstrim yang dipantau secara terpisah oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).

Integrasi sistem peringatan dini yang ragam ancaman ini dikenal dengan nama multi-hazard early warning system yang dalam konteks Indonesia masih terdapat celah kelembagaan yang masih perlu untuk diselesaikan.

Upaya integrasi sistem peringatan dini di Indonesia lintas ancaman ini tidak mudah diurai secara detail di tingkat regulasi, koordinasi dan perencanaan apalagi di tingkat implementasi. Tapi pemerintah Indonesia harus segera mengadopsinya untuk menyelamatkan nyawa rakyat di daerah rawan bencana.

The Conversation

Halaman:
Jonatan A Lassa
Jonatan A Lassa
Dosen Senior, Humanitarian Emergency and Disaster Management, College of Indigenous Futures, Arts and Society
Artikel ini terbit pertama kali di:

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...