Dua Sisi Dampak Ekonomi dari Perang Rusia - Ukraina
Dalam upaya bersama menangani pandemi Covid-19 yang telah berlangsung dua tahun lebih, dunia kini juga menghadapi tragedi kemanusiaan di Eropa Timur. Rusia menginvasi Ukraina pada Subuh 24 Februari 2022. Suatu tragedi kemanusiaan yang tentu memiliki dampak dari sisi ekonomi dan geopolitik.
Indonesia sebenarnya memiliki peran cukup signifikan di panggung global tahun ini melalui Presidensi G20. Salah satu yang utama adalah membantu menciptakan stabilitas perekonomian dunia. Sedangkan di dalam negeri, kita tetap perlu siaga dengan perkembangan dinamika global. Menjaga stabilitas dan optimisme perlu dilakukan untuk mengurangi tekanan dan kepanikan pasar.
Invasi Rusia atas Ukraina ini turut menambah tekanan bagi perekonomian global di tengah berbagai macam risiko lain, seperti normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat, terganggunya rantai pasok global yang memberikan tekanan pada harga komoditas terutama energi dan pangan, hingga masih berlangsungnya pandemi COVID-19.
Di tengah pemulihan ekonomi global yang tidak merata (uneven recovery), invasi tersebut merupakan suatu “perfect storm” bagi negara-negara berkembang yang masih berjuang untuk memulihkan perekonomiannya.
Dalam sistem keuangan dan logistik global yang semakin terintegrasi, konflik Rusia-Ukraina tersebut berdampak signifikan terhadap konstelasi perekonomian dunia. Dampaknya bagi perekonomian domestik dapat dilihat dari sisi sektor keuangan hingga sektor riil.
Sehari setelah invasi, pasar saham di berbagai negara mengalami koreksi yang cukup signifikan. Indeks saham di bursa Rusia anjlok tajam hingga 33 persen dan memaksa otoritas setempat menutup bursa sahamnya hingga saat ini.
Sementara itu, nilai tukar Rupiah cukup terjaga meskipun terdepresiasi. Imbah hasil SBN pun masih terjaga pada level 6,5 – 6,6 persen. Depresiasi mata uang Rusia maupun Ukraina tidak berdampak langsung terhadap Rupiah. Namun jika nilai tukar lain yang signifikan bagi Indonesia seperti Yen dan Yuan yang mengalami depresiasi, sangat mungkin Rupiah akan terkena efek tular (contagion effect).
Kestabilan nilai mata uang dapat dipengarui oleh neraca modal (capital flows) dan neraca perdagangan. Dari sisi neraca modal ada dua yang utama, saham dan obligasi. Sejauh ini dari sisi saham, negara-negara Asia justru mendapatkan limpahan realokasi investor sehingga menerima aliran dana masuk. Bursa saham Asia, misalnya, cenderung menguat di awal Maret meski sempat mengalami koreski pada hari pertama terjadinya invasi.
Secara umum IHSG memiliki kinerja yang relatif kompetitif dengan kenaikan 5,3% sejak awal tahun hingga 4 Maret lalu. Kenaikannya lebih tinggi dari bursa saham Malaysia yang naik 2,3%, bursa Thailand (+1,2% ytd), bursa Singapura (+3,3% ytd), bahkan dari kinerja S&P 500 yang tumbuh minus 0,5% sejak awal tahun ini.
Tak cuma itu, Indonesia masih mendapatkan modal masuk ke pasar saham yang cukup besar, yakni inflow dari 21 Februari hingga 4 Maret lalu mencapai Rp 8,9 triliun.
Namun, di pasar obligasi terjadi aliran modal keluar pada periode yang sama (21 Februari hingga 4 Maret 2022), mencapai Rp11,9 triliun. Penyebabnya, berbeda dengan pasra saham, permintaan terhadap obligasi negara dari sisi global akan sangat dipengaruhi oleh kebijakan moneter negara maju, terutama bank sentral Amerika Serikat, The Fed.
Ada dua kemungkinan di sini. Pertama, The Fed akan menormalisasi ekspansi moneter dan meningkatkan suku bunga dibandingkan perkiraan sebelumnya untuk memerangi kenaikan harga-harga. Sebelum invasi Rusia pada 24 Februari lalu, inflasi di berbagai negara sudah sangat tinggi.
Sebagai contoh, inflasi di Amerika Serikat mencapai 7,5 persen, India 6 persen , Inggris 5,5 persen pada Januari tahun ini. Peningkatan harga-harga akibat konflik ini akan memperburuk kondisi inflasi global.
Jika The Fed meningkatkan suku bunga lebih cepat atau lebih drastis dari perkiraan sebelumnya, biasanya akan terjadi realokasi alami dari portofolio global keluar dari negara berkembang dan menuju safe-haven assets. Selain itu, jika The Fed mulai meningkatkan suku bunga, negara-negara berkembang pun mendapat tekanan untuk menjaga perbedaan suku bunga, yang pada akhirnya akan mempengaruhi aliran modal.
Kemungkinan kedua, jika perekonomian dunia terpukul oleh konflik Rusia-Ukraina sehingga mengubah trajektori pemulihan, dan ekonomi Amerika Serikat juga ikut terpengaruh, maka The Fed dapat menunda normalisasi. Kita lihat sejauh ini, konflik Rusia-Ukraina justru membuat imbal hasil US Treasury 10 tahun mencapai 1,71 persen per awal Maret, karena permintaan terhadap safe-haven assets justru naik dalam kondisi yang tidak pasti.
Dari sisi domestik, permintaan obligasi dari sisi retail masih tetap kuat, namun dari sisi perbankan akan mulai terjadi realokasi. Perbankan yang selama ini menahan penyaluran kredit di masa pandemi dan banyak mengalokasikan dananya untuk obligasi, akan mulai menyalurkan kredit seiring pemulihan ekonomi.
Keseimbangan antar permintaan dan penawaran obligasi perlu dijaga untuk menjaga stabilitas imbal hasil obligasi sehingga tidak meningkatkan cost of fund. Di saat yang bersamaan dengan pulihnya ekonomi dan penerimaan negara, maka kebutuhan pembiayaan juga akan berkurang.
Dari sisi ekonomi riil, adanya konflik bersenjata tersebut berdampak pada meningkatnya harga-harga komoditas energi dan pangan. Per 4 Maret lalu, harga minyak Brent mengalami kenaikan 43 persen secara year to date mencapai harga US$111,2 per barel. Ini harga tertinggi sejak era commodity boom awal dekade 2010 lalu.
Pada periode yang sama, harga batu bara dan CPO mencapai rekor tertinggi sepanjang masa dengan harga masing-masing mencapai US$370 per ton (118% ytd) dan US$1.628 per ton (31% ytd).
Kalau terkait dampak kenaikan harga komoditas, kita perlu melihatnya dari dua perspektif. Ini karena pada sebagian komoditas Indonesia merupakan net importer dan pada sebagian lainnya sebagai net exporter.
Sebagai net importer minyak, kenaikan harga komoditas ini akan menurunkan surplus current account, atau dengan kata lain dapat meningkatkan defisit. Sedangkan kenaikan harga CPO dan batubara, justru meningkatkan current account karena Indonesia merupakan net exporters.
Jika dampak aliran modal baik masuk maupun keluar di sisi neraca modal dan neraca perdagangan cukup berimbang, nilai mata uang akan cenderung stabil. Bahkan sangat mungkin kenaikan harga komoditas memiliki dampak yang net positif terhadap current account Indonesia secara keseluruhan.
Selain berdampak pada current account, harga minyak mentah Indonesia/ICP dan komoditas lain memiliki korelasi positif terhadap belanja negara dan akan berpengaruh langsung terhadap perhitungan belanja, khususnya subsidi energi.
Berdasarkan analisa sensitivitas perubahan asumsi dasar ekonomi makro APBN 2022, setiap kenaikan ICP sebesar US$1 maka berdampak pada kenaikan Belanja Negara sebesar Rp2,6 triliun.
Namun terdapat juga korelasi positif pada sisi pendapatan. Setiap kenaikan ICP sebesar US$1 akan berdampak pada pendapatan negara sebesar Rp3 triliun. Jadi, dampak neto perubahan harga minyak global terhadap APBN cenderung dapat terkendali. Ceteris paribus, setiap kenaikan harga CPO US$1 per barel justru dapat meningkatkan surplus APBN Rp0,4triliun.
Dari perspektif perdagangan, kontribusi Ukraina dan Rusia relatif tidak terlalu signifikan terhadap total perdagangan dunia dengan masing-masing mencapai 1,38 persen dan 1,25 persen. Meski begitu, efek tular akan lebih dirasakan jika perdagangan dan perekonomian negara-negara besar yang merupakan mitra dagang utama Indonesia seperti Cina, Jepang, dan Amerika Serikat sudah ikut terpengaruh secara signifikan pula.
Fundamental perekonomian Indonesia masih cukup baik. Secara umum inflasi masih cukup terjaga, apalagi dibandingkan dengan banyak negara lain. Nilai tukar stabil dan imbal hasil obligasi negara juga masih cukup terjaga.
Kinerja produksi sektor manufaktur Indonesia yang tercermin lewat PMI Manufaktur Februari 2022 juga tercatat mencapai 51,2, yang capaian ini konsisten berada pada zona ekspansi dalam enam bulan terakhir. Hal ini menunjukkan industri Indonesia masih berdaya di tengah merebaknya varian Omicron. Waspada itu perlu, namun kita juga perlu menciptakan optimisme pasar.
Di tengah perkembangan konflik geopolitik, perang dan tekanan ekonomi global lainnya, Indonesia memiliki andil yang cukup signifikan, terutama dalam membantu menciptakan stabilitas perekonomian dunia melalui perannya sebagai Presidensi G20.
Dalam kapasitas sebagai Presidensi G20, Indonesia baru saja berhasil menyelenggarakan rangkaian kegiatan 2nd Finance and Central Bank Deputies Meeting (FCBD) Meeting dan 1st Finance Minister and Central Bank Governors (FMCBG) Meeting di Jakarta. Kegiatan itu mendiskusikan enam agenda prioritas yaitu ekonomi dan kesehatan global, arsitektur finasial internasional, isu sektor finansial, keuangan berkelanjutan, infrastruktur dan perpajakan internasional.
Pada periode yang menantang ini, kapasitas kepemimpinan Indonesia diuji untuk dapat mewujudkan permulihan ekonomi global yang merata (recover together) dan lebih kuat (recover stronger). Kita tentu berharap pandemi Covid-19 segera berakhir.
Begitu juga invasi Rusia ke Ukraina. Semakin lama konflik ini berlangsung semakin tinggi efek tularnya pada dinamika geopolitik dan perekonomian global. Tapi di luar dampak pada kondisi geopolitik dan ekonomi global, kita berharap konflik ini tidak berlangsung lama, yang paling utama demi kemanusiaan.
*Kolom ini merupakan pandangan pribadi penulis, yang tidak terkait dengan posisi dan institusi tempatnya bekerja.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.