Dampak Politik Luar Negeri Trump Bagi Indonesia

Ahmad Nurcholis
Oleh Ahmad Nurcholis
19 Maret 2025, 06:55
Ahmad Nurcholis
Katadata/ Bintan Insani

Ringkasan

  • Kebijakan luar negeri Trump ditandai dengan sikap mereda terhadap Rusia dan agresif terhadap sekutu tradisional AS. Trump menunjukkan retorika permusuhan terhadap beberapa sekutu, termasuk rencana akuisisi Greenland, Terusan Panama, dan perang tarif dengan Kanada.
  • Pergeseran kebijakan Trump didorong oleh kebangkitan politik nasionalis "Make America Great Again" dan kekecewaan publik terhadap kebijakan Demokrat. Trump memprioritaskan kepentingan nasional AS di atas nilai-nilai universal liberal yang diusung Biden.
  • Trump memandang Cina sebagai ancaman utama dan berupaya mendekati Rusia untuk menyeimbangi kekuatan Cina. Trump juga mengkritik kontribusi sekutu AS di NATO dan dianggap tidak adil bagi Amerika.
! Ringkasan ini dihasilkan dengan menggunakan AI
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Kemenangan Donald Trump dalam Pemilu AS sukses mengubah arah proyeksi geopolitik saat ini. Di satu sisi, kebijakan AS akhir-akhir ini semakin mereda terhadap Putin. Di sisi lain, Trump semakin agresif terhadap sekutu dekatnya. 

Lewat gayanya yang blak-blakan, Trump beberapa kali melancarkan retorika permusuhan terhadap negara-negara yang selama ini dikenal sebagai aliansi tradisional AS. Beberapa yang paling mencolok: inisiasi mengakuisisi Greenland milik Denmark, Terusan Panama, serta perang tarif terhadap Kanada. 

Dia juga sempat mengancam keluar dari NATO. Lebih konyol lagi, Trump mantap menetapkan Teluk Amerika sebagai nama baru dari Teluk Meksiko. Ini hanyalah rentetan peristiwa yang mewarnai perjalanan awal Trump sebagai presiden baru AS.

Kebangkitan Politik Nasionalis

Bila dicermati, ada dua faktor penting perubahan kebijakan politik AS di bawah Trump. Pertama, kebangkitan aliran politik konservatif Trump yang lebih populis dan nasionalis. Kedua, kekecewaan publik AS terhadap Partai Demokrat dan Biden dalam menangani persoalan domestik di banyak sektor. 

Sikap nasionalis Trump tercermin dalam semboyan “Make America Great Again” (MAGA) yang menempatkan kepentingan nasional AS di atas segalanya. Motto ini disinyalir sebagai reaksi Trump atas dekadensi dan kemerosotan status AS sebagai negara adidaya. AS dipandang terlalu banyak berkorban untuk “negara lain” alih-alih fokus terhadap berbagai persoalan dalam negeri.

Di era Biden, Demokrat terlalu asik menggaungkan aspirasi pluralis atau nilai-nilai universal liberal. Misalnya, pro-kebijakan imigran, dukungan proxy war dalam kasus Israel dan Ukraina, dan kampanye besar-besaran terhadap isu-isu marjinal seperti LGBTQ. 

Kubu Trump memandang berbagai kebijakan tersebut tidak terlalu penting dan kurang membumi atas realitas riil kondisi AS yang penuh masalah. Dua di antaranya adalah performa ekonomi yang buruk dan kualitas infrastruktur yang rendah. 

Trump juga menuduh Demokrat terlalu banyak menghamburkan uang negara untuk program remeh dan menguntungkan kepentingan Demokrat. Salah satunya anggaran yang dialokasikan lewat USAID dan FEMA. Inilah alasan dibentuknya Departemen Efisiensi negara yang dikepalai Elon Musk.

Pijakan prinsip dan nilai politik yang dianut Trump dan Biden memang berbeda. Alhasil, tak sulit untuk menduga jika warna proyeksi geopolitik keduanya pun tidak sama. 

Kalangan pluralis seperti Biden mengupayakan terciptanya tatanan liberal yang paripurna. Mereka percaya dengan anggapan bahwa dunia akan harmoni dan damai jika masyarakat dunia menganut nilai dan sistem yang serupa. Prinsip kesamaan nilai liberal menjadi landasannya. 

Pembelaan AS di bawah Biden terhadap Ukraina berasal dari prinsip pluralitas tersebut. Rusia di bawah Putin dipandang sebagai rezim diktator yang mesti digulingkan dan diganti dengan rezim liberal. Makanya, mereka mengambil sikap antagonistik terhadap Putin. Perluasan keanggotaan NATO dianggap penting bagi eksistensi liberalisme di Eropa.

Pandangan Trump atas Putin

Bedanya, Trump tidak menganut prinsip itu. Dia lebih nasionalis (baca: kurang pluralis) dan cenderung untuk bertindak berdasarkan prinsip-prinsip realis (Mearsheimer, 2021). Prinsip realis artinya Trump percaya bahwa musuh aktual AS saat ini bukanlah Rusia yang secara kekuatan masih jauh di bawah AS. 

Musuh AS adalah Cina yang semakin menunjukkan taringnya untuk melampaui kapabilitas AS, baik secara ekonomi maupun militer. Makanya, Trump lebih memilih bersahabat dengan Putin. 

Sikap lunak Trump kepada Rusia merupakan upaya untuk mengambil hati Putin agar mau bersama-sama menjadi penyeimbang terhadap kebangkitan Cina. Rusia dipandang sebagai calon sekutu penting AS di masa depan. Lagi pula, dalam politik, tidak ada teman dan musuh abadi. 

Perang Dunia I, II, dan Perang Dingin menunjukkan bahwa utak-atik aliansi antarnegara besar kerap terjadi. Sehingga potensi terbentuknya aliansi di antara keduanya pun sangat besar. Mearsheimer (2019, p. 48) bahkan mengatakan peluang tersebut sangat besar. Hal ini lantaran “Cina yang semakin kuat merupakan ancaman terbesar Rusia, mengingat wilayah keduanya saling berdekatan.” 

Singkatnya, Cina tidak hanya menjadi ancaman serius AS, tetapi juga Rusia. Membentuk aliansi dengan Putin adalah salah satu cara paling efektif untuk membendung kekuatan Cina di masa depan. 

Adapun sikap kurang bersahabat Trump terhadap sekutu-sekutu dekatnya di Eropa merupakan upaya lain untuk meyakinkan Putin. Bahwa kini dia mengambil posisi berbeda dari Biden dalam penyelesaian konflik Rusia-Ukraina. 

Trump tidak berkepentingan atas Ukraina. Bernegosiasi dengan Rusia tanpa melibatkan Eropa adalah bukti dan tekad Trump untuk mengakhiri perang sesegera mungkin. Makanya, Trump juga menghentikan bantuan militer untuk Ukraina. Bahkan menggembar-gemborkan rencana AS keluar dari NATO. 

Berbagai cara ini menggambarkan upaya Trump membujuk Putin berkoalisi dengan AS untuk menahan laju kebangkitan Cina yang semakin tak terbendung. Dalam logika neorealis, hanya eksistensi negara besar yang benar-benar diperhitungkan dalam struktur global. Karena itu, koalisi antarsesama akan mampu menghentikan kebangkitan negara besar lainnya secara lebih efektif.

Di tengah dunia yang kini multipolar, ada tiga kekuatan besar yang mengisi komposisi tatanan global: Cina yang semakin kuat, AS, dan Rusia (Mearsheimer, 2019). Dengan prinsip “keseimbangan kekuatan,” AS berkepentingan menggandeng Rusia mencegah Cina sebagai raksasa dunia yang baru. 

Kegagalan menarik Rusia ke dalam orbit aliansi, sama halnya dengan membiarkan Cina tumbuh dan berkembang tanpa batas melampaui kekuatan AS. Logika inilah yang melatarbelakangi sikap positif Trump terhadap Putin belakangan ini.

Aspek lain yang juga disorot atas sikap agresif Trump terhadap sekutu tradisionalnya adalah ketidakseimbangan biaya kontribusi mereka atas NATO. Padahal, menurut Trump, sepatutnya negara-negara Eropa membayar kontribusi secara adil. Sebab, Eropa yang lebih membutuhkan perangkat keamanan bersama tersebut (Mcdonald/Politico, 19/03/2024). 

Bagi Trump, selama ini AS dianggap terlalu banyak berkorban untuk kepentingan negara lain, sementara AS sendirian menghadapi persoalan kompleks di dalam negeri. Jika kebijakan tidak adil ini terus dilanjutkan, maka kekuatan relatif AS terhadap Cina akan semakin terdegradasi. Ini disebabkan terlalu banyak uang dialokasikan untuk kepentingan di luar. 

Sebagai langkah mengembalikan kedigdayaan tersebut, kebijakan Trump lebih bercorak nasionalis dibanding pluralis yang cenderung altruis. Langkah ini diambil karena kemunduran kekuatan absolut AS, berarti kebangkitan relatif bagi Cina. Sebab itu, menjaga performa ekonomi dalam negeri lewat berbagai kebijakan unilateral dan protektif merupakan instrumen utama kebijakan Trump. 

Dua strategi yang dilakukannya adalah perang tarif dan penarikan diri dari berbagai organisasi multilateral yang dianggap menggerogoti keuangan AS. Trump tidak ingin melihat Cina semakin bangkit dan strategi paling efektif untuk membendungnya adalah dengan menggandeng Putin.

Dampaknya Bagi Indonesia

Dengan semakin terbukanya potensi aliansi Trump dan Putin, artinya pertentangan AS dan Cina akan semakin meruncing. Tentu ini akan membawa dampak bagi Indonesia dalam mengarungi kebijakan luar negerinya di masa depan. 

AS diprediksi akan lebih tegas dalam membagi dunia ke dalam dua pilihan diametral: duduk bersama di sisinya atau dituduh menjalin persekutuan dengan Cina. Dalam kondisi tersebut, sudah seyogyanya Indonesia menjalankan politik bebas aktif dengan hati-hati dan bijaksana. Sebab, sedikit saja langkah strategis salah diambil, akan menimbulkan kecurigaan dari dua belah pihak. 

Agar tidak dicap condong terhadap salah satu di antara keduanya, Indonesia perlu memaksimalkan peran ASEAN dalam memajukan dialog dan komunikasi. Hal ini untuk memperkecil kesalahpahaman dan langkah sembrono yang sewaktu-waktu bisa saja terjadi dan fatal bagi kepentingan global dan kawasan. 

Indonesia juga perlu memastikan negara-negara anggota ASEAN lainnya berdiri teguh di tengah-tengah tanpa memihak pihak manapun. Itulah satu-satunya cara untuk mencegah potensi perang pecah di sekitar Laut Cina Selatan di masa depan sebagaimana diramalkan oleh Mearsheimer dalam tulisannya di Foreign Affairs pada 2021.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Ahmad Nurcholis
Ahmad Nurcholis
Dosen Hubungan Internasional Universitas Sriwijaya

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...