Momentum Commodity Supercycle untuk Pertumbuhan Ekonomi
Di tengah tahun kedua pandemi Covid-19, ekonomi global turut dihadapkan pada fenomena lonjakan harga komoditas yang telah berlangsung sejak satu tahun terakhir. Apakah episode peningkatan harga komoditas ini sudah masuk dalam kategori commodity supercycle?
Sinyalemen tersebut masih dalam perdebatan, namun jelas kiranya bahwa episode ini merupakan episode commodity boom. Jika penurunan produksi dan peningkatan permintaan ini terjadi secara struktural, kenaikan harga akan terjadi dalam jangka yang cukup panjang.
Dalam kondisi ini commodity boom bakal menjelma jadi commodity supercylce. Harga komoditas naik pesat karena terpicu oleh beberapa hal; meningkatnya demand atas komoditas energi dan pangan di tengah pemulihan ekonomi global, terbatasnya tenaga kerja, dan gangguan cuaca di beberapa lokasi produksi komoditas, termasuk invasi Rusia terhadap Ukraina.
Sejak pandemi awal Maret 2020 hingga pekan kedua Maret 2022, harga minyak Brent telah melambung 112,1 persen, mencapai harga tertinggi sejak era commodity boom pada tahun 2008-2011 lalu. Begitu juga harga gas alam melesat 169,1 persen dalam periode yang sama.
Beberapa komoditas energi dan pangan yang mengalami lonjakan harga sejak pandemi dimulai adalah komoditas unggulan Indonesia, seperti crude palm oil (tumbuh 212,6 persen), batu bara (melonjak 455,6 persen), hingga nikel (278,2 persen) yang mencapai rekor tertinggi sepanjang masa.
Bagi Indonesia, fenomena commodity supercycle tersebut seperti blessing in disguise. Sepanjang 2021, pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia sebesar 41,52 persen (yoy) turut berkontribusi pada surplus neraca dagang yang mencapai USD35,34 miliar.
Tingginya pertumbuhan ekspor ini membuat surplus neraca perdagangan berlangsung selama 22 bulan sejak Mei 2020 hingga Februari 2022. Bahkan, progresifnya kinerja ekspor ini mencetak rekor Current Account Indonesia terhadap PDB surplus untuk pertama kalinya sejak 2011.
Meski fenomena commodity supercycle berdampak positif dari sudut pandang perdagangan internasional, dampak buruknya terhadap laju inflasi dan ketimpangan sosial patut menjadi perhatian.
Lonjakan harga komoditas energi dan pangan, bagaimanapun juga berpotensi menjadi faktor pendorong inflasi global. Sedangkan tekanan yang ditimbulkan oleh naiknya inflasi, pada akhirnya akan memperlambat proses pemulihan perekonomian global pasca-pandemi.
Selain itu, jika melakukan refleksi atas capaian perekonomian kita dua dekade terakhir ini, salah satu determinan pertumbuhan perekonomian Indonesia yang sangat impresif adalah commodity boom. Meski begitu, di saat yang sama, ketimpangan pendapatan meningkat dari 0,37 pada 2008 menjadi 0,41 pada 2011.
Sejumlah studi menjelaskan mengapa hal itu terjadi. Bank Dunia (2014), Yusuf (2014), serta Bhattacharyya dan Williamson (2013) menemukan bahwa fenomena commodity boom merupakan salah satu faktor penyebab meningkatnya ketimpangan sosial, khususnya di negara-negara yang kesejahteraannya path dependent terhadap sektor ekstraktif, semisal Indonesia.
Commodity boom di Indonesia yang telah terjadi pada dua dekade lalu, memang berkontribusi menumbuhkan Produk Domestik Bruto. Namun, secara sosio-ekonomi dampak commodity boom justru meningkatkan ketimpangan, jika tidak dikompensasi dengan kebijakan lain.
Keuntungan yang diperoleh dari kenaikan harga di pasar komoditas, cenderung lebih banyak dinikmati oleh kelompok pemilik modal karena sektor komoditas termasuk dalam industri padat modal. Kenaikan harga komoditas padat modal rupanya menimbulkan wealth effect, di mana peningkatan penghasilan kelompok masyarakat berpendapatan tinggi melaju lebih cepat dibandingkan dengan kelompok non-pemodal.
Yusuf (2014) menekankan bahwa kenaikan harga komoditas pertambangan dunia seperti minyak bumi, gas alam, logam, dan batu bara berdampak meningkatkan ketimpangan sosial di Indonesia. Sedangkan kenaikan harga komoditas pertanian seperti karet, kelapa sawit, kopi, dan teh cenderung tidak menimbulkan efek peningkatan ketimpangan.
Penting untuk menjaga momentum commodity supercycle agar tidak berbalik menjadi kutukan sumber daya alam (resource curse). Terlebih lagi jika suatu negara sangat bergantung pada industri ekstraktif, sehingga ketika momentum commodity supercycle berakhir, yang terjadi justru adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi dan transformasi struktural, serta memburuknya ketimpangan sosial.
Maka untuk mencegah hal ini terjadi di masa pemulihan ekonomi pasca-pandemi, berbagai langkah strategis dan komprehensif kiranya perlu ditempuh.
Pertama, reformasi struktural di sektor ekstraktif perlu diupayakan melalui hilirisasi industri. Adanya hilirisasi industri menjadikan Indonesia tidak hanya mengekspor komoditas mentah, namun produk turunan dan olahan dari komoditas yang bernilai tambah lebih tinggi.
Dengan tingginya nilai tambah domestik, produk-produk komoditas pertanian padat karya yang dihasilkan dapat menjadi sumber peningkatan pendapatan bagi para low-skilled labor. Pelebaran rantai pasok di wilayah Nusantara melalui hilirisasi ini pada gilirannya tak saja akan meningkatkan nilai tambah domestik, namun juga investasi dan penyerapan tenaga kerja.
Kedua, mencegah Dutch Disease terjadi di Indonesia melalui bauran kebijakan fiskal, kebijakan pasar uang, dan pasar tenaga kerja yang efektif.
Dutch Disease merujuk pada dampak kontra-produktif yang terjadi akibat fenomena industrialisasi gas alam di Belanda pada tahun 1960-an yang justru membuat real exchange rate terapresiasi, karena terms of trade (harga barang ekspor relatif terhadap barang impor) meningkat.
Hal ini dapat menyebabkan sumber daya perekonomian terfokus pada sektor yang sedang boom dan menurunkan daya saing sektor lain yang non-tradeable, dalam hal ini sektor manufaktur. Padahal manufaktur adalah sektor yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari pertumbuhan potensial.
Bauran kebijakan fiskal, moneter, dan pasar tenaga kerja yang efektif, dibutuhkan untuk mencegah terjadinya Dutch Disease. Bauran kebijakan dapat dilakukan dengan cara meredistribusikan lonjakan pendapatan swasta dan penerimaan negara dari sektor SDA kepada sektor manufaktur padat karya dalam negeri.
Di samping itu, kebijakan fiskal mampu mendorong naiknya investasi dalam negeri sehingga produktivitas sektor manufaktur, pelayanan dasar dan infrastruktur publik meningkat. Kebijakan moneter dan tenaga kerja dikoordinasikan agar inflasi terjaga dan meminimkan dampak buruk lonjakan nilai tukar riil.
*Kolom ini merupakan pandangan pribadi penulis, yang tidak terkait dengan posisi dan institusi tempatnya bekerja.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.