Dua Potret Kontras BUMN Transportasi
Teori ekonomi secara umum menyebutkan bahwa persaingan usaha itu perlu. Persaingan merupakan salah satu jalan agar sebuah perusahaan berkembang dengan baik, terutama dalam pelayanan. Bisa kita lihat bagaimana persaingan perusahaan otomotif Jepang seperti Daihatsu, Toyota, dan Honda. Atau Hyundai dan Daewoo di Korea yang bersaing, misalnya, dalam teknologi dan konsumsi bahan bakar.
Demikian pula pada dunia penerbangan bisnis di Indonesia. Dahulu kita punya sekitar 15 maskapai berjadwal. Beberapa maskapai lalu kalah bersaing seperti, Linus Air, Batavia Air, Tiger Mandala, bahkan maskapai pemerintah Merpati dan Royal Pacific dari konsorsium India. Kemudian muncul maskapai baru seperti Super Air Jet, Pelita, Trans Nusa.
Muara persaingan itu yakni memberikan kepuasan kepada pelanggan semaksimal mungkin. Sebab, monopoli atau dominasi yang tidak ada pesaing dikhawatirkan berdampak buruk pada pelayanan. Secara teoritis betul, tapi ternyata tidak berlaku untuk perusahaan BUMN ini, PT Kereta Api Indonesia.
PT KAI berawal dari Perusahaan Jawatan Kereta api (PJKA). Mereka tidak sekadar berganti nama atau jargon. PT KAI ini merupakan perusahaan peninggalan kolonial Belanda. Dalam perjalanannya, di era 1970 - 1990, kereta api tidak memiliki pelayanan yang baik. Misalnya, ini bisa terlihat ketika momen Lebaran.
Sewaktu mahasiswa, saya pulang kuliah dari Yogyakarta ke Cilacap naik kereta. Penumpang bisa naik dari jendela, duduk “sembunyi” di toilet, pedagang masuk seenaknya, penumpang tidur di lorong gerbong, di bordes bisa merokok. Pada masa 2000 ke bawah itu termasuk transportasi darat yang sangat buruk, dengan laporan keuangan yang selalu merugi.
Sejak dipegang oleh Ignasius Jonan, 180 derajat PT KAI. Semua kereta api kelas ekonomi sampai eksekutif menggunakan penyejuk udara (air conditioner). Pada awal perubahan, malah AC rumah yang dipakai. Gerbong kereta api waktu itu memang masih banyak peninggalan era lama yang tidak terkonstruksi untuk menggunakan AC. Usaha menempelkan AC portabel itu bagus.
Gebrakan kedua adalah tidak adanya penumpang berdiri. Era digitalisasi juga dimanfaatkan dengan optimal sehingga tarif kereta api tergantung low season dan peak season seperti di pesawat. Kemudahan akses mirip dengan maskapai penerbangan yang menerapkan penjualan tiket melalui online.
Manajemen dari atas sampai bawah dan stake holder kereta api mau mengadakan perubahan. Apa saja dilakukan. Kondekturnya memakai jas yang mirip dengan pilot. Dia juga tidak melakukan kontrol tiket, yang dahulu penumpang akan diperiksa sekalipun sedang tertidur. Kini hanya menggunakan handphone.
Pramugari pun dikurangi agar gaji pegawai dapat maksimal. Mereka menjual makanan di dalam kereta api. Dari segi pelayanan, mungkin orang akan sedikit terhibur dengan pramugari ini yang menjajakan makanan secara berkeliling sehingga penumpang tidak perlu ke restorasi.
Selalu Berubah Menyesuaikan Tuntutan Pasar
Perbaikan pun dilakukan ke gerbong kereta api. Hasilnya, tingkat kebisingan di dalam gerbong rendah, hampir tidak ada noise. Dasar-dasar manajemen yang diterapkan oleh Jonan, kini dilanjutkan penggantinya. Saya lihat tampilan fisik kereta api, karyawan, tenaga outsource mencerminkan kondisi keuangan PT KAI yang baik-baik saja.
Teori bahwa tiadanya persaingan akan membuat kondisi buruk kepada perusahaan tampaknya tidak berlaku bagi PT KAI. Berbeda dengan maskapai penerbangan milik BUMN, Merpati dan Garuda Indonesia.
Sejak ada Undang-Undang Penerbangan Tahun 2009, harusnya Merpati semakin sehat. Namun empa tahun sejak berlakunya aturan tersebut, Merpati malah tutup. Merpati ini kasus yang tragis, ironis, dan tidak bermutu.
Karena negara kita kepulauan dengan 550 kabupaten, seharusnya itu bisa menjadi makanan Merpati. Dengan pangsa pasar yang demikian besar, Merpati tutup itu bagi saya sangat aneh. Bisa diasumsikan bahwa budaya kerja pada manajemen Merpati sangat lemah dan buruk.
BUMN penerbangan yang kedua adalah Garuda Indonesia. Secara brand, Garuda bagus sejak dipegang dirut yang mempunyai high taste, maunya keluar negeri untuk branding. Garuda masuk dalam anggota aliansi maskapai internasional SKY Team. Garuda pun banyak memperoleh penghargaan tingkat internasional. Bahkan pernah tujuh kali berturut-turut meraih penghargaan.
Sayang, manajemen sudah bermasalah selama 14 tahun. Seolah tidak ada yang melakukan pengawasan. Pada saat pandemi, sebagian besar pesawat Garuda dikembalikan kepada lessor. Pasca-pandemi saat ini, maskapai sudah bisa rebound. Garuda harus meningkatkan pelayanan.
Garuda bisa me-generate pasar domestik dan harus meningkatkan kualitas pelayanan. Saat ini, Garuda masih memiliki keterbatasan pesawat, sementara rotasi day per day-nya belum teratur. Jika target pesawat bisa dipenuhi akhir tahun ini, plan rotasi pesawat bisa berjalan lebih baik.
Menuju Masa Depan
PT KAI tidak membedakan para penumpangnya. Sekalipun penumpang kelas ekonomi, mereka akan mendapatkan masker dan tisu pembersih. Sedangkan di Garuda hanya mendapatkan snack.
Dilihat dari harga tiket, PT KAI memberikan pelayanan yang lebih baik kepada penumpangnya, seiring sudah memiliki keuntungan. PT KAI memiliki pasar, kira-kira, untuk DKI Jakarta ada 10 juta orang, Banten 10 juta, Jawa Barat 40 juta, DI Yogyakarta 30 juta, Jawa Timur 30 juta. Kira-kira ada 120 juta orang bisa dijangkau oleh PT KAI
Bandingkan dengan pesawat udara. Perusahaan ini bisa melayani 275 juta orang, dari Sabang sampai Merauke. Kita berharap, Garuda setelah lolos dari PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), dapat meniru cara PT KAI dalam melayani penumpangnya dengan baik.
Saat ini, PT KAI secara ketepatan waktu sudah semakin baik, sesuai dengan jadwal. Pada awalnya, PT KAI pun memiliki manajemen yang buruk, tetapi bisa berubah. Demikian halnya dengan Garuda, harus ada perubahan dari manajemennya dari tingkat atas sampai bawah, juga para stake holder-nya.
Garuda memang memiliki opsi perpanjangan restruktursisasi utang 20 tahun ke depan. Maka strategi yang yang masuk akal adalah memperioritaskan untuk menggarap pasar domestik di rute-rute gemuk dan pasar kargo udara seiring bisnis e-commerce yang booming.
Dapat pula mempertahankan beberapa rute luar negeri yang masih menguntungkan, misal ke Narita, Tokyo, Kuala Lumpur, dan Sydney. Bisa pula menggiatkan pasar gemuk umrah dan charter flight. Harapannya, dengan lebih konsentrasi ke pasar-pasar di atas, revenue Garuda akan semakin membaik.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.