Prospek Bursa Karbon dan Kebijakan Iklim Indonesia

Mahawira Dillon
Oleh Mahawira Dillon
19 Oktober 2023, 16:41
Mahawira Dillon
Katadata/ Bintan Insani

Akhir September lalu, Presiden Joko Widodo meresmikan bursa karbon nasional, IDXCarbon, sebagai bagian dari PT Bursa Efek Indonesia (BEI). Menurut Otoritas Jasa Keuangan, hingga 29 September, nilai transaksinya mencapai Rp29,2 miliar dengan 46 ribu ton CO2 unit karbon yang diperdagangkan. 

Namun apa saja yang harus diperhatikan terkait perdagangan karbon? Adakah pelajaran yang dapat kita adaptasikan dari pengalaman bursa karbon lainnya di dunia?

Bursa karbon bukanlah ide baru. Konsepnya ada sejak konvensi Kyoto Protocol 1997 yang diperkenalkan sebagai mekanisme pasar untuk mengurangi emisi gas. Tujuan utamanya agar publik dapat memperjualbelikan carbon credits untuk memberi insentif kepada industri-industri agar berinovasi menciptakan teknologi yang lebih rendah emisi. 

Bursa karbon yang operasional pertama kali adalah European Union's Emissions Trading Systems (EU ETS) yang diluncurkan pada 2005 menggunakan sistem cap-and-trade. Dalam kurun waktu 2005-2020, menurut laporan “The EU Emissions Trading System in 2021: Trends and Projections”, implementasi EU ETS diperkirakan berhasil mengurangi emisi karbon di wilayah Uni Eropa dari sekitar 2,370 Mt CO2eq (megaton equivalen karbondioksida) menjadi sekitar 1381 MT CO2eq

Pencapaian penurunan emisi sekitar 43% ini bukan tanpa tantangan—mulai dari fluktuasi harga hingga pengembangan regulasi demi mengakomodasi perubahan-perubahan yang terjadi di pasar domestik maupun internasional.

Salah satu persoalan yang dihadapi EU ETS adalah ketika terjadi surplus carbon credits yang menyebabkan harga menurun drastis sehingga mengurangi insentif pengurangan emisi. Untuk menangani permasalahan ini, pada 2014 EU ETS mengimplementasikan sistem "backloading" untuk membatasi atau menunda jumlah carbon credit yang diperjualbelikan agar mengurangi surplus pasar. 

Lantas pada 2019, EU ETS menerapkan mekanisme Market Stability Reserve atau MSR, yang berfungsi membatasi jumlah unit ketika terjadi surplus dan menambah jumlah unit ketika terjadi kelangkaan.

Umur IDXCarbon memang masih dalam hitungan hari, tapi melihat pengalaman EU ETS yang mengalami penurunan harga signifikan pada tahun ketiga beroperasi, setidaknya ada dua hal yang perlu dicermati. 

Pertama, fakta bahwa EU ETS awalnya didesain untuk beroperasi dengan pembatasan emisi sektoral yang jelas untuk memastikan munculnya permintaan carbon credits. Di Indonesia, implementasi pembatasan emisi tersebut belum dijalankan dengan jelas dan konsisten. Walaupun negara kita sudah punya konsep pembatasan emisi yang terkandung dalam komponen Nilai Ekonomi Karbon (NEK) sebagaimana diatur dalam PP Nomor 98/2021 dan bagian dari UU Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Dampak ketidakjelasan ini tercermin dalam harga karbon per unit yang diperdagangkan di IDXCarbon saat ini yaitu Rp69.600 per ton. Harga ini jauh lebih rendah dari rata-rata harga karbon per unit di bursa karbon lain. Harga karbon di EU ETS saat ini sekitar 84,58 euro atau sekitar lebih dari Rp1,3 juta per ton. Sementara di bursa karbon Australia, harga per ton kredit karbon dibanderol senilai AUD 31 atau sekitar Rp308.909. 

Halaman:
Mahawira Dillon
Mahawira Dillon
Periset di Yayasan Indonesia CERAH

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...