Konflik Iran-Israel, Tantangan Konsistensi Kebijakan Harga Energi

Pri Agung Rakhmanto
Oleh Pri Agung Rakhmanto
23 April 2024, 15:40
Pri Agung
Ilustrator: Betaria Sarulina

Kombinasi dari faktor ketidakpastian yang terjadi terkait perang ini dan kondisi pasar yang sebelumnya telah berada pada kondisi relatif seimbang namun ketat, cenderung akan mendorong pergerakan harga minyak pada tahun 2024 bergerak naik dan lebih fluktuatif, dengan rentang harga yang lebih tinggi dibandingkan tahun 2023.

Sepanjang tahun 2024, harga minyak global telah menunjukkan fluktuasi lebih lebar pada rentang yang lebih tinggi. Pada kuartal I 2024, harga minyak berada dalam kisaran US$ 80 hingga US$ 85 per barel, sementara memasuki kuartal II 2024, harga minyak tercatat telah berada pada kisaran US$ 90 per barel dan memiliki potensi untuk terus meningkat di sisa periode tahun 2024 ini.

Dampak Kenaikan Harga Minyak ke APBN

Sebagai negara net importer, kenaikan harga minyak global akan berdampak signifikan pada perekonomian nasional. Salah satunya, terutama adalah yang berkaitan dengan alokasi belanja negara untuk subsidi energi di APBN. Dalam APBN 2024, dengan asumsi Indonesia Crude Price (ICP) sebesar US$ 82 per barel, total subsidi dan kompensasi energi yang dialokasikan untuk tahun 2024 mencapai sekitar Rp 329,9 triliun. Dengan adanya potensi kenaikan harga minyak, beban subsidi dan kompensasi energi yang harus dialokasikan untuk tahun 2024 dengan sendirinya berpotensi akan bertambah.

Perubahan harga minyak mentah (ICP) memiliki sensitivitas yang signifikan terhadap pendapatan negara, belanja negara, dan defisit APBN. Dari berbagai simulasi perhitungan yang dilakukan, salah satunya oleh pemerintah sendiri, menunjukkan bahwa untuk APBN 2024, dengan mengasumsikan bahwa faktor-faktor lain yang berpengaruh dianggap tidak berubah (ceteris paribus), setiap kenaikan ICP sebesar US$ 1 per barel akan meningkatkan pendapatan negara sebesar Rp 3,6 triliun. Namun disisi lain hal itu akan mendorong peningkatan belanja negara sebesar Rp 10,1 triliun.

Hal ini menyebabkan defisit APBN meningkat sebesar Rp 6,5 triliun untuk setiap kenaikan ICP sebesar US$ 1 per barel, ceteris paribus. Jika ICP mencapai US$ 100 per barel, kebutuhan untuk anggaran subsidi dan kompensasi BBM berpotensi membengkak hingga 53% dari yang semula ditetapkan, dan pembengkakan bisa melebihi 78% jika ICP mencapai US$ 110 per barel. Selain itu, level ICP jika mencapai 100 USD/barel juga akan memicu peningkatan alokasi anggaran subsidi LPG hingga sebesar 27,6%, dan dapat meningkat menjadi 40,5% jika ICP mencapai level 110 USD/barel.

Konsistensi Penerapan Harga Energi Sesuai Keekonomian

Pemerintah telah sangat berpengalaman dan tentu saja telah sangat memahami risiko di atas. Resep ekonomi yang secara normatif diperlukan untuk mengatasi permasalahan di atas juga telah sangat dimengerti. Penerapan kebijakan harga energi –terutama harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan LPG– sesuai dengan prinsip dan nilai keekonomiannya, adalah kebijakan yang secara normatif mestinya dilakukan pemerintah untuk menjaga dan mengelola tingkat subsidi dan kompensasi energi nasional dalam APBN 2024.

Dalam implementasinya, hal ini pada dasarnya dapat “disederhanakan”, salah satunya melalui penerapakan kebijakan penyesuaian harga energi terpilih yang dilakukan secara periodik. Kebijakan penetapan dan penyesuakan harga energi secara berkala terhadap jenis BBM non-subsidi pernah dilakukan diantaranya melalui Peraturan Menteri ESDM No 39 Tahun 2014 tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak dan aturan perubahannya.

Melalui aturan tersebut pemerintah melakukan evaluasi kebijakan harga BBM setiap tiga bulan. Hasil dari penerapan kebijakan ini terbukti cukup positif dalam mengendalikan subsidi energi, dengan nilai subsidi mengalami penurunan dari sekitar Rp 1.340 triliun pada periode 2010-2014 menjadi sekitar Rp 609,7 triliun pada periode 2015-2019.

Di sisi lain yang masih terkait dengan pengelolaan kebijakan harga di sektor energi, upaya menjaga daya beli masyarakat dan mengendalikan laju inflasi melalui penerapan subsidi tertarget dan tertutup perlu terus dijalankan dan disempurnakan di tingkat implementasinya. Penerapan secara konsisten kedua langkah ini tidak hanya akan mengarahkan kembali kebijakan harga energi nasional kepada prinsip keekonomian yang semestinya, tetapi juga akan bermanfaat menurunkan beban subsidi pemerintah dan memungkinkan pengalokasian anggaran yang lebih efisien untuk sektor-sektor kunci lainnya yang lebih produktif dalam APBN.

Kenaikan harga minyak dan implikasinya terhadap perekonomian nasional, defisit APBN dan khususnya yang terkait pembengkakan subsidi energi di APBN bukan hal baru bagi pemerintah. Tidak perlu resep dan ilmu baru lagi bagi pemerintah untuk mengatasi hal itu. Hanya perlu niat, kemauan dan komitmen politik yang kuat dari pemerintah untuk menerapkan secara konsisten apa yang dalam ilmu dasar ekonomi energi disebut sebagai harga energi sesuai prinsip keekonomiannya.

Halaman:
Pri Agung Rakhmanto
Pri Agung Rakhmanto
Dosen di FTKE Universitas Trisakti, Pendiri ReforMiner Institute
Editor: Dini Pramita

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...