Membangun Ketahanan Pangan dan Energi
Presiden Indonesia, Joko Widodo, dalam pidatonya di COP28 Dubai pada 1 Desember 2023, menyatakan produk pertanian dan perkebunan memiliki potensi untuk menjadi energi bersih dan ramah lingkungan. Menurut beliau, produk pertanian dan perkebunan dapat diolah menjadi bahan bakar nabati yang lebih ramah lingkungan daripada bahan bakar fosil.
Pada tahun 2023, Indonesia mulai mengembangkan program biodiesel B35 untuk mengatasi konsumsi 12,2 juta kiloliter biodiesel. Kandungan minyak kelapa sawitnya adalah 35%, sedangkan 65% lainnya adalah solar. Bahan baku untuk biodiesel di Indonesia berasal dari produk perkebunan kelapa sawit (CPO).
Presiden Joko Widodo menekankan permintaan produk pertanian dan perkebunan akan meningkat secara global di masa depan, yang disumbang peningkatan permintaan makanan dan produksi energi. Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo mengajak untuk memperkuat kolaborasi global dan peningkatan investasi di sektor pertanian dan perkebunan di masa depan. Kolaborasi global dianggap dapat mendukung keamanan pangan dan energi yang berkelanjutan.
Beberapa organisasi masyarakat sipil Indonesia juga telah mendesak pasangan calon presiden dan wakil presiden di Pemilu 2024 untuk serius mewujudkan transisi energi yang rendah emisi dan berkeadilan. Calon presiden harus memiliki visi ketahanan pangan yang kuat dan menempatkan isu ketahanan pangan dan ketahanan energi sebagai prioritas kebijakan.
Calon presiden diharapkan juga berkomitmen untuk mempercepat pengembangan bioenergi sebagai alternatif energi terbarukan yang ramah lingkungan. Ini termasuk investasi dalam penelitian dan pengembangan teknologi bioenergi yang inovatif serta pembangunan infrastruktur yang mendukung produksi dan distribusi bioenergi.
Pada akhir tahun 2000-an, Teori Nexus Air-Makanan-Energi muncul, mencerminkan pendekatan holistik terhadap interaksi antara air, produksi makanan, dan energi. Teori ini menyoroti hubungan erat antara tiga sektor ini dan dampaknya terhadap keberlanjutan lingkungan dan kehidupan manusia.
Populasi dunia di masa depan terus tumbuh, karena itu permintaan terhadap air, makanan, dan energi juga turut meningkat. Jika masyarakat global tidak bekerja sama dan mengantisipasi dilema antara populasi dan produksi pertanian, kita berpotensi mengalami bencana seperti teori Malthusian. Oleh karena itu, hipotesis nexus sangat penting untuk memahami konsekuensi lingkungan dari memutuskan penggunaan alternatif satu sumber daya untuk menggantikan yang lain, dalam hal ini sumber daya makanan yang akan digunakan sebagai energi.
Selama beberapa dekade terakhir, telah terjadi perubahan paradigma global terhadap isu tanaman pangan sebagai sumber energi. Paradigma lama menganggap tanaman pangan harus ditanam terutama untuk digunakan oleh manusia dan hanya boleh digunakan sebagai pilihan terakhir untuk produksi energi. Tetapi seiring dengan bertambahnya kesadaran orang terhadap manfaat potensial tanaman pangan dalam diversifikasi sumber energi kita, paradigma ini mulai berubah. Selain itu, pemerintah juga memainkan peran penting dalam menetapkan arah dan kerangka fiskal dalam merangsang paradigma tersebut.
Berkaitan dengan teori nexus: perubahan iklim, keamanan pangan, dan keamanan energi adalah tiga tantangan global utama yang saling terhubung dan berdampak satu sama lain. Ketergantungan pada bahan bakar fosil sebagai sumber energi utama secara global telah menyebabkan polusi dan peningkatan emisi gas rumah kaca, yang telah mempercepat perubahan iklim.
Perubahan iklim berdampak pada keamanan pangan karena mengganggu pola cuaca dan ekosistem. Produktivitas pertanian telah terganggu oleh pola curah hujan yang tidak teratur, banjir, kekeringan, dan bencana alam lainnya.
Langkah penting dalam mengurangi emisi gas rumah kaca adalah dengan memanfaatkan produk pertanian sebagai sumber energi terbarukan, misalnya program biodiesel Indonesia. Pendekatan ini tidak hanya mengurangi jejak karbon tetapi juga mendukung pertanian yang berkelanjutan. Pengembangan tanaman energi harus seimbang dengan praktik pertanian yang berkelanjutan sesuai dengan prinsip teori nexus, dengan menghindari konversi lahan berharga atau mengurangi keamanan pangan.
Konflik antara tanaman pangan dan energi untuk pemanfaatan lahan pertanian adalah salah satu isu utama. Keamanan pangan dapat terancam oleh konversi lahan pertanian dari produksi makanan ke pengembangan tanaman energi, terutama di negara-negara yang sudah menghadapi persoalan kekurangan pangan.
Masalah utamanya terletak pada kelangkaan lahan karena tanaman energi membutuhkan ruang yang cukup untuk berkembang secara efisien. Konflik atas penggunaan lahan antara pengembangan infrastruktur, konservasi hutan, dan produksi pangan dapat timbul sebagai hasil dari pertumbuhan tanaman energi.
Banyak proyek bioenergi bergantung pada tanaman tertentu seperti minyak kelapa sawit atau jagung. Ketergantungan ini dapat menimbulkan masalah dalam hal kegagalan panen, perubahan pasar, atau ancaman penyakit atau perubahan iklim. Setiap negara juga memiliki seperangkat kebijakan dan peraturan sendiri yang mengatur pertumbuhan tanaman energi. Karena adanya kesulitan untuk mendapatkan persetujuan standar di antara banyak negara, disparitas ini dapat menjadi hambatan bagi kolaborasi.
Bagi Indonesia, program biodiesel merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keamanan energi. Keamanan pangan dan keamanan energi adalah dua pilar penting untuk visi Indonesia Emas 2045.
Program biodiesel bertujuan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada bahan bakar fosil, meningkatkan nilai tambah produk pertanian, dan mendukung pengembangan industri biodiesel. Ditambah lagi, Indonesia adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, sehingga program biodiesel dapat meningkatkan pertumbuhan industri minyak kelapa sawit dan meningkatkan kesejahteraan petani kelapa sawit.
Selain dari kelapa sawit, Indonesia menawarkan berbagai macam tanaman pangan yang dapat digunakan sebagai sumber energi alternatif. Singkong, tebu, kelapa, jarak, jagung, kacang tanah, dan banyak tanaman lainnya adalah contoh tanaman pangan tersebut. Selain itu, Indonesia memiliki banyak sumber energi terbarukan yang belum dimanfaatkan sepenuhnya.
Untuk menjaga keseimbangan sosial, ekonomi, dan lingkungan dalam kerangka ekonomi hijau, gagasan penggunaan tanaman energi sangat penting. Hal ini membantu Indonesia mengurangi dampak lingkungan yang merugikan, mendorong pertumbuhan ekonomi yang adil dan berkelanjutan, serta beralih ke model pembangunan yang lebih berkelanjutan.
Pengalaman Indonesia dapat dijadikan contoh bagaimana Teori Nexus Air-Makanan-Energi dapat diterapkan secara efektif untuk mempromosikan keamanan energi, keamanan pangan, dan mengurangi dampak perubahan iklim. Indonesia hanya perlu membawa masalah ini lebih jauh ke masyarakat global untuk memiliki dampak yang lebih besar.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.