Menuju Era Transportasi Udara Rendah Emisi

Djoko Subinarto
Oleh Djoko Subinarto
10 Mei 2024, 06:30
Djoko Subinarto
Katadata/Bintan Insani
Kolumnis dan Co-founder Tepas Syndicate
Button AI Summarize

Sektor transportasi udara, baik untuk penumpang maupun barang, merupakan bagian penting dari pertumbuhan dan pembangunan ekonomi selama ini. Sayangnya, sektor ini masih menghasilkan emisi gas buang yang berkontribusi terhadap pemanasan global.

Dihitung-hitung, sektor transportasi udara menghasilkan sekitar 2,4% emisi CO2 global sekarang ini dan bertanggung jawab sekitar 5% atas pemanasan global.

Meski sepintas terlihat kecil, faktanya sektor penerbangan termasuk ke dalam sepuluh besar penghasil emisi global yang emisinya diperkirakan bakal meningkat secara dramatis pada pertengahan abad ini. Berdasarkan skenario saat ini, sektor penerbangan dapat menghasilkan 56 gigaton CO2 selama periode tahun 2016-2050.

Menurut analisis Council on Clean Transportation (ICCT), sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di Amerika Serikat (AS), andai setiap orang di dunia hanya melakukan satu penerbangan jarak jauh per tahun saja, emisi yang dihasilkan pesawat udara akan jauh melebihi seluruh emisi CO2 di Amerika Serikat.

Climate Action Network mencatat emisi sektor penerbangan internasional telah naik 54% dari tahun 1990 hingga tahun 2015 dan diproyeksikan meningkat sekitar 4,3% setiap tahun selama jangka waktu 20 tahun ke depan. Ini dapat menimbulkan ancaman terhadap tujuan Perjanjian Paris, yang menargetkan menjaga kenaikan temperatur global rata-rata di bawah 2 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri.

Lalu, bagaimana solusinya? Haruskah kita berhenti naik pesawat terbang?

Mendorong Pengembangan Sustainable Aviation Fuel (SAF)

Sampai batas tertentu, memilih tidak menggunakan pesawat terbang bisa saja dilakukan. Namun, toh, tak semua orang dapat benar-benar melakukannya. Menutup industri penerbangan juga tidak mungkin dilakukan.

Opsi terbaik yaitu mencari bahan bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan bagi pesawat udara. Opsi lainnya yaitu menciptakan pesawat udara bertenaga baterai.

Dalam hal bahan bakar alternatif, beberapa tahun terakhir, SAF (sustainable aviation fuel) alias bahan bakar penerbangan berkelanjutan mulai dikembangkan dan dilirik untuk digunakan di sektor transportasi udara.

Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) mendefinisikan SAF sebagai bahan bakar penerbangan yang dapat diperbarui seperti biofuel atau yang berasal dari limbah yang memenuhi kriteria keberlanjutan.

Analisis teknis yang dilakukan ICAO sejauh ini menunjukkan bahwa SAF memiliki potensi terbesar untuk mengurangi emisi CO2 dari aktivitas penerbangan internasional.

Sejumlah kajian menyebut SAF memberikan pengurangan emisi karbon yang mengesankan hingga mencapai 80 persen dibandingkan dengan bahan bakar jet tradisional. Selain itu, SAF dapat dicampur dengan bahan bakar biasa untuk menurunkan jejak karbon penerbangan tanpa harus terlebih dahulu memodifikasi mesin pesawat.

Analisis yang dilakukan Megersa Abera Abate dari World Bank menyimpulkan bahwa SAF dapat menghasilkan pengurangan emisi global sebesar 58% pada tahun 2050, jika pengunaannya dapat ditingkatkan secara signifikan.

Poblemnya saat ini yaitu, harga SAF bisa sampai delapan kali lebih mahal daripada jenis bahan bakar biasa yang digunakan sektor penerbangan. Kendati tergolong mahal, sejumlah maskapai penerbangan sudah mulai memanfaatkan SAF untuk aktivitas penerbangannya. Ambil contoh, Swiss International Air Lines yang sejak tahun 2021 menjadi maskapai penerbangan komersial pertama yang terbang dari Swiss dengan menggunakan SAF.

Sementara itu, Alaska Airlines, American Airlines, British Airways, Finnair, Japan Airlines, dan Qatar Airways, yang tergabung dalam Oneworld Alliance, telah membuat komitmen bersama dengan produsen SAF yang berbasis di Colorado, Gevo. Keenam maskapai itu akan menggunakan SAF untuk operasi mereka di Bandara Internasional San Diego, San Francisco, San Jose, dan Los Angeles, mulai tahun 2027 mendatang.

Alternatif Lain Bernama Hidrogen Hijau

Selain SAF, bahan bakar alternatif lain untuk transportasi udara yang kini sedang dijajaki adalah hidrogen hijau, yang diklaim mampu menghilangkan 100% emisi. Hidrogen hijau dibuat melalui air elektrolisis menggunakan energi terbarukan.

Proses produksinya dilaporkan hampir tidak berdampak pada lingkungan, sehingga menjadikannya salah satu pilihan paling berkelanjutan untuk penerbangan. Diperkirakan hidrogen hijau baru akan digunakan sebagai bahan bakar penerbangan pada tahun 2030-an.

Ikhtiar untuk membuat sektor transportasi udara lebih ramah lingkungan juga dilakukan oleh perusahaan pabrikan pesawat terbang, mulai dari perusahaan rintisan kecil hingga perusahaan raksasa. Sekarang ini, mereka sedang berlomba merancang dan membangun pesawat komersial bertenaga baterai yang dapat diandalkan dan dengan harga yang terjangkau oleh maskapai penerbangan.

Salah satunya yaitu Eviation, perusahaan rintisan yang berada di Seattle, Amerika Serikat. Eviation telah memiliki prototipe pesawat udara bertenaga baterai, yang diberi nama Alice.

Pesawat udara rancangan Eviation ini baru mampu membawa sembilan penumpang sejauh 500 mil (804.672 kilometer) dengan sekali pengisian daya baterai. Alice disebut-sebut mewakili salah satu solusi paling berani untuk salah satu rintangan tersulit menuju masa depan dunia penerbangan tanpa emisi.

Menurut para pakar, daya baterai yang dibutuhkan untuk bisa menggerakkan pesawat yang penuh penumpang ke ketinggian jelajah dan melintasi berbagai kondisi cuaca jauh lebih besar daripada yang dibutuhkan kendaraan di darat. Teknologi baterai untuk pesawat besar seperti Boeing 777 mungkin membutuhkan waktu pengembangan selama beberapa dekade lagi.

Jika semua berjalan sesuai rencana, setidaknya dalam beberapa tahun ke depan, secara perlahan, bahan bakar pesawat udara mungkin bakal berangsur mulai menghilang seiring munculnya pesawat-pesawat udara berukuran kecil yang mulai menggunakan teknologi baterai untuk mengangkasa -- sebelum pada akhirnya pesawat-pesawat udara berukuran besar juga akan menggunakan teknologi yang sama.

Djoko Subinarto
Djoko Subinarto
Kolumnis dan Co-founder Tepas Syndicate
Editor: Dini Pramita

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...