Membedah Naik-Turun Biaya Cost Recovery dan Dampaknya Terhadap Lifting Migas
Cara Menaikan Produksi Migas
Meski dalam jangka panjang Indonesia berada di ranah declining phase, namun mempertimbangkan potensi yang dimiliki masih ada peluang untuk menaikan produksi pada beberapa tahun ke depan. Paling tidak Indonesia masih punya peluang untuk menahan laju penurunan produksi, dan memperpanjang masa produksi.
Di antaranya yakni melalui strategi investasi eksplorasi dan meningkatkan investasi eksplorasi. Data pemerintah menunjukan bahwa tahun 2020 investasi eksplorasi hanya US$ 0,5 miliar, sementara outlook 2024 mencapai 3,6 kali lipat, atau sekitar US$ 1,8 miliar.
Selain itu, strategi eksplorasinya juga sudah diubah. Sekarang eksplorasi menargetkan temuan medium-large, berubah dari yang sebelumnya mengarah pada temuan cadangan small-medium. Langkah ini selaras dengan upaya menemukan ‘giant fish’.
Sepertinya strategi ini cukup berhasil. Salah satunya dapat dilihat dari penemuan cadangan yang cukup besar di North Ganal Kalimantan Timur yang diperkirakan kira-kira 5 TCF. Demikian juga dengan temuan di South Andaman yang diprediksi 6 TCF.
Sementara itu, perusahaan-perusahaan yang memasuki masa eksploitasi hendaknya jangan menunda untuk memonetisasi cadangan. Misalnya ENI sebagai operator North Ganal, yang sudah memperoleh persetujuan plan of development dari pemerintah, segera mulai membangun fasilitas produksi, dan segera memproduksi migas dari WK tersebut.
Pemerintah pusat wajib memiliki keberpihakan terhadap industri hulu migas, salah satunya dengan memberikan sokongan yang memungkinkan operasional lebih mudah. Sebaiknya, pemerintah jangan mengeluarkan aturan yang mengejutkan, yang membuat industri ‘tertegun’ kemudian berhenti sejenak untuk mencerna aturan baru lalu menghentikan langkah, meski hanya sementara.
Jangan pula pemerintah membuat aturan yang bersifat kontra produktif. Misalnya, pemerintah mengeluarkan aturan bea masuk baru, sementara banyak peraralatan untuk pengembangan lapangan masih menggunakan barang-barang dari luar negeri.
Demikian juga pemerintah daerah dan masyarakat di daerah operasi wajib untuk mendukung dengan cara tidak merecoki dan membuat gaduh. Sebaliknya, yang dibutuhkan adalah dukungan untuk memperlancar perizinan. Pun jika belum bisa dilakukan, sebenarnya perusahaan minyak hanya membutuhkan ketenangan untuk bekerja. Berikan suasana nyaman dan aman. Dengan catatan tebal, bahwa seluruh hak-hak masyarakat sesuai ketentuan hukum sudah tuntas, sudah selesai.
Kinerja Industri Hulu Migas
Memperhatikan karakteristik bisnis hulu migas, cara lain untuk mengukur kinerja industri hulu migas adalah dengan membandingkan realisasi cost recovery dengan target atau rencananya dan mengukur eisiensi.
Memang dalam tiga tahun terakhir data menunjukan target cost recovery selalu tercapai. Misalnya di tahun 2021 cost recovery ditargetkan tidak boleh lebih besar dari US$ 8,07 miliar, realisasinya US$ 7,62 miliar atau setara dengan 94,4%. Pada tahun berikutnya juga tercapai. Target US$ 8,65 miliar dan realisasi US$ 7,8 miliar atau 90,2%. Adapun pada 2023, dari pagu anggaran US$ 8,25 miliar, realisasinya US$ 7,67 miliar, setara 93%. Secara umum nampaknya strategi pengendalian sudah baik.
Namun demikian tetap harus berhati-hati dengan target 2024, mengingat sedemikian banyak kegiatan pengeboran. Juga, terdapat kemungkinan beberapa perusahaan minyak group Pertamina yang meminta berubah dari PSC gross split menjadi PSC cost recovery. Sedangkan target yang dicanangkan sebelumnya tidak termasuk tambahan cost recovery dari perubahan kontrak. Jadi besar kemungkinan realisasi cost recovery lebih besar lagi dari US$ 8 miliar.
Lalu efisiensi cost recovery dapat dilihat dengan cara seperti ini. Jenis biaya pembentuk cost recovery adalah investment credit, biaya produksi, biaya eksplorasi, unrecovered cost, biaya administrasi dan depresiasi. Komponen terbesarnya adalah biaya produksi.
Pada 2024, porsi biaya produksi diperkirakan 47% dari total cost recovery. Sedangkan dua tahun sebelumnya, yaitu 2023 dan 2022, porsi biaya produksi terhadap total cost recovery masing-masing 51% dan 43%. Bila ingin mengukur efisien cost recovery dapat dilihat dari kinerja biaya produksi.
Adapun biaya terbesar dalam biaya produksi adalah biaya pemboran sumur pengembangan. Misalnya, tahun 2019 dibutuhkan US$ 5,1 miliar untuk pemboran 322 sumur pengembangan, bandingkan dengan realisasi tahun 2023. Dengan biaya US$ 4 miliar mampu membor 799 sumur pengembangan.
Sedangkan tahun 2024 diperkirakan biaya produksi sebesar US$ 3,8 miliar untuk target pengeboran 932 sumur. Artinya, biaya pemboran per sumur dari tahun ke tahun semakin kecil yang menunjukan kinerja pengendalian cost recovery dan efisiensi yang membaik.
Namun demikian perlu diwaspadai, bahwa cost recovery potensial akan naik sehubungan dengan perubahan beberapa WK Pertamina, dari model PSC gross split menjadi PSC cost recovery. Sayangnya perubahan model tersebut tidak akan banyak mengubah besaran lifting. Kondisi seperti ini juga semakin memperjelas bahwa penambahan cost recovery terkadang tidak secara otomatis menaikan lifting migas.
Terakhir, bisnis hulu migas adalah bisnis jangka panjang. Kontrak bisnis hulu migas selama 30 tahun. Kalau kontrak diperpanjang, masih tambah lagi 20 tahun.
Karena itu, seringkali sebuah kebijakan perusahaan, atau industrial action dan aksi SKK Migas tidak terlihat dampaknya di jangka pendek. Hasilnya terkadang baru dapat dilihat pada masa yang lebih panjang. Hal ini juga yang sering disalahpahami, karena setiap action saat ini ingin segera dilihat hasilnya seperti pada bisnis umum.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.