Meluruskan Informasi Asimetris Kenaikan Tarif PPN Menjadi 12%
Menutup tahun 2024, berbagai platform media ramai membahas rencana kenaikan tarif PPN 1%. Publik bereaksi atas berbagai informasi yang simpang siur terkait rencana ini.
Sebagai pemegang kewenangan kebijakan fiskal, Menteri Keuangan telah menyampaikan rencana kenaikan tarif PPN 1% sejak November 2024. Dengan berbagai kajian yang menghasilkan paket kebijakan ekonomi, pemerintah menyatakan amanah UU untuk menyesuaikan tarif PPN akan tetap dijalankan.
Kesimpangsiuran terjadi karena banyak informasi yang beredar dari berbagai sumber. Tidak semuanya menggunakan analisis yang tepat. Asimetris informasi terus bergulung dan menimbulkan reaksi sebagai buah keresahan masyarakat.
Terlepas dari bagaimana nanti keputusan pemerintah terkait hal ini, informasi yang kurang tepat yang tersebar di masyarakat perlu diluruskan.
Kenaikan 9% vs 0,9%
Ketika pemerintah mengumumkan rencana kenaikan tarif PPN 1%, beberapa sumber kemudian menjabarkan penghitungan matematis kenaikan tarif PPN. Dengan contoh penghitungan sederhana, mereka mengklaim bahwa kenaikan tarif PPN bukan 1% melainkan 9%. Sementara pemerintah terus berupaya meyakinkan masyarakat bahwa dampak kenaikan tarif PPN 1% terhadap masyarakat adalah 0,9%.
Mana yang benar? Keduanya sama-sama benar, tetapi berbeda dasar dan tujuan penghitungan. Yang satu sedang membandingkan persentase kenaikan tarif, yang satu menyajikan hitungan selisih harga yang dibayar konsumen akibat pengenaan tarif baru.
Jika yang dicari adalah persentase kenaikan tarifnya, maka hitungannya sesederhana selisih kenaikan tarif dibandingkan tarif sebelumnya (1/11 = 9 % ). Namun angka 9% ini tidak mencerminkan tambahan beban yang harus dipikul masyarakat akibat kenaikan tarif PPN.
Contoh mudahnya, jika konsumen berbelanja di supermarket Rp1.000.000, dengan PPN 11% total yang dibayarkan adalah Rp1.110.000. Jika PPN menjadi 12%, maka total yang dibayarkan menjadi Rp1.120.000. Selisih Rp10.000 dibandingkan dengan jumlah yang sebelumnya dibayar konsumen yang ingin dijelaskan oleh pemerintah (10.000/1.110.000 = 0,9%).
Kembali ke pertanyaan di atas, yang mana yang benar? Jawabannya tergantung tujuannya. Apakah masyarakat ingin menghitung persentase kenaikan tarif, atau menghitung beban riil yang akan ditanggung dengan tarif baru.
Transaksi QRIS Kena PPN 12%
Quick Response Code Indonesian Standard yang selanjutnya disebut QRIS adalah Standar QR Code pembayaran yang ditetapkan Bank Indonesia dalam memfasilitasi transaksi pembayaran di Indonesia. Dasar hukumnya adalah Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 21/ 18 /Padg/2019 tentang Implementasi Standar Nasional Quick Response Code.
Regulasi tersebut mengatur bahwa saat konsumen melakukan pembayaran menggunakan QRIS di toko atau layanan tertentu, pedagang akan dikenakan biaya yang disebut (Merchant Discount Rate/MDR). Biaya MDR ini ditanggung oleh merchant dan tidak boleh dibebankan kepada konsumen. Besarnya biaya MDR ditetapkan sesuai dengan kategori merchant dan nilai transaksi.
Dengan demikian, sesuai dengan prinsip dasar PPN, pajak dikenakan kepada konsumen (pembeli barang atau pengguna jasa). Pihak pengguna jasa yang akan menanggung PPN adalah merchant. Merchant dikenakan PPN atas pemanfaatan jasa penyediaan infrastruktur dan layanan sistem pembayaran elektronik. Itulah sebabnya, ketika konsumen bertransaksi, baik secara tunai maupun secara elektronik dengan QRIS, tidak menyebabkan perbedaan jumlah yang dibayar.
Beban PPN yang ditanggung merchant usaha mikro pun mendapatkan relaksasi sejalan dengan kebijakan BI per 1 Desember 2024 yang mengenakan tarif MDR 0% atas transaksi penggunaan QRIS sampai dengan Rp500.000 pada merchant usaha mikro. Sehingga, atas transaksi penggunaan QRIS sampai dengan Rp500.000 pada merchant usaha mikro tidak terdampak kenaikan tarif PPN, baik dari sisi merchant, apalagi konsumen.
Multiplier Effect Kenaikan Tarif PPN
Walaupun hanya 1%, publik menilai kenaikan ini akan menyebabkan multiplier effect yang berujung pada kenaikan harga yang siginifkan. Hal ini digambarkan dalam contoh berikut:
Dengan format penghitungan di atas, maka efek kenaikan tarif PPN 1% terhadap beban yang dipikul oleh masyarakat adalah 2,7%. Nilainya berbeda dengan selisih yang dijanjikan pemerintah, yakni 0,9%.
Musabab dari perbedaan di atas adalah kekeliruan penghitungan beban PPN. Penghitungan di atas, memasukkan beban PPN dalam setiap mata rantai distribusi. Konsep ini berlaku pada pengenaan Pajak Penjualan (PPn). Cascading effect (akumulasi beban pajak) dalam PPn inilah yang kemudian dikoreksi melalui pengimplementasian PPN.
PPN sesuai namanya, hanya mengenakan pajak atas setiap tambahan nilai yang terjadi pada setiap mata rantai. Contoh yang disederhanakan di atas hanya melibatkan tiga pihak dalam mata rantai distribusi (pabrikan, retailer dan konsumen akhir). Jika rantainya ditambahkan, maka cascading effect-nya akan semakin besar.
PPN diimplementasikan melalui mekanisme pemungutan pajak keluaran oleh penjual, dan pengkreditan pajak masukan yang dibayar penjual tersebut ketika membeli barang. Selisih dari pajak keluaran dan pajak masukan inilah yang merupakan pajak yang dipikul konsumen.
Dengan contoh kasus yang sama, maka penghitungan dengan menggunakan mekanisme PPN adalah sebagai berikut :
Dari uraian tabel di atas, dapat dilihat bahwa PPN dikenakan atas tambahan nilai (margin) saja. Ketika tarif 12% dimasukkan dalam penghitungan transaksi di atas, akan menghasilkan jumlah beban yang harus dibayar konsumen akhir sebesar Rp161.280. Terdapat selisih beban yang dibayar konsumen akhir sebesar Rp1.440 (0,9% dibandingkan nilai yang harus dibayar dengan tarif 11%, yakni Rp159.840).
Kenaikan tarif PPN 1% biar bagaimanapun tetap berakibat pada penambahan beban yang dipikul oleh masyarakat. Namun, kalkulasi beban riil yang ditanggung oleh masyarakat harus dihitung dengan cermat, sehingga tidak menimbulkan keresahan pada masyarakat. Pemerintah juga harus menepati janji dengan tetap memberikan fasilitas-fasilitas yang akan mengurangi beban rakyat.
Penyebaran informasi yang tepat diharapkan dapat membangun sinergi dan trust antara masyarakat dan pemerintah. Sehingga energi masyarakat dapat dialihkan ke diskusi yang lebih konstruktif, misalnya, memastikan penambahan beban pajak ini akan diiringi dengan peningkatan manfaat yang dirasakan masyarakat.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.