Kabar Buruk Demokrasi Indonesia


Demokrasi tidak selalu mati oleh kudeta. Ia bisa mati di tengah tepuk tangan, melalui pemilu yang tetap diselenggarakan, lewat Mahkamah Konstitusi yang tetap bekerja, dan parlemen yang terus bersidang. Demokrasi bisa mati bukan dengan menghapus elemen formalnya, tetapi dengan menghilangkan substansi yang menjadikannya demokrasi.
The Economist Intelligence Unit (EIU) mencatat skor Indeks Demokrasi Indonesia pada 2024 anjlok ke angka 6,44. Angka ini turun dari 6,53 pada 2023, dan 6,71 pada 2022. Posisi Indonesia merosot tiga peringkat, dari 56 ke 59 dari 167 negara yang diteliti.
Ini bukan sekadar fluktuasi angka, melainkan bukti nyata bahwa demokrasi Indonesia tidak sekadar menghadapi tantangan sementara—melainkan sedang mengalami transformasi yang lebih berbahaya daripada otoritarianisme klasik. Demokrasi yang dibiarkan melemah dari dalam, di bawah kedok prosedural, menciptakan ilusi kebebasan sambil mengikis makna sejatinya.
Yang membedakan erosi demokrasi Indonesia dengan rezim otoriter klasik adalah bagaimana proses ini berlangsung tanpa perlu melarang pemilu, tanpa perlu membubarkan oposisi secara resmi, tanpa perlu membungkam pers dengan cara yang terlalu vulgar. Sebaliknya, demokrasi Indonesia dikendalikan dengan cara yang jauh lebih elegan dan lebih sulit dilawan.
Di dalam ruang-ruang tertutup, aturan diubah sesuai kebutuhan penguasa. Mahkamah Konstitusi, yang seharusnya menjadi benteng konstitusi, berubah menjadi alat kekuasaan yang meloloskan kepentingan politik dinasti tanpa banyak perlawanan. Keputusan yang membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai calon wakil presiden bukan sekadar penyimpangan prosedural, tetapi tanda bahwa aturan main demokrasi bisa diubah sesuai pesanan.
Ketika hukum telah kehilangan independensinya, ketika institusi-institusi yang seharusnya menjadi penyeimbang justru berfungsi sebagai alat perpanjangan kekuasaan, maka yang tersisa hanyalah demokrasi sebagai sandiwara. Masih ada pemilu, tetapi hasilnya sudah dikondisikan. Masih ada oposisi, tetapi mereka tidak pernah benar-benar diberi ruang untuk menang. Masih ada kebebasan pers, tetapi media-media yang kritis dibungkam secara halus dengan tekanan ekonomi dan ancaman hukum.
Pola ini bukan khas Indonesia. Dari Rusia di bawah Vladimir Putin, Turki di bawah Recep Tayyip Erdoğan, hingga Hungaria di bawah Viktor Orbán—semuanya menggunakan strategi yang sama: mempertahankan elemen-elemen demokrasi, tetapi menyesuaikan aturan agar demokrasi tidak pernah bisa menggulingkan mereka.
Yang membedakan Indonesia adalah betapa cepatnya transformasi ini terjadi. Dalam waktu kurang dari satu dekade, kita telah bergeser dari demokrasi yang relatif kompetitif menjadi sistem yang hanya menyisakan prosedur demokratis tanpa substansinya.
Pemilu 2024 menegaskan bahwa negara kini bukan hanya sekadar peserta dalam kompetisi politik, tetapi aktor utama yang mengendalikan seluruh prosesnya. Hasil pemilu bukan lagi ditentukan oleh pilihan rakyat yang bebas, tetapi oleh bagaimana negara mengelola persepsi publik, mengendalikan distribusi bansos, dan memastikan bahwa kandidat yang dipilih bukan yang paling mampu, tetapi yang paling bisa dikendalikan.
Ini bukan demokrasi yang sakit. Ini demokrasi yang telah berubah menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih berbahaya daripada kediktatoran konvensional, karena ia tidak terlihat sebagai ancaman, tetapi sebagai stabilitas.
Stabilitas ini yang kini dijual kepada publik sebagai narasi utama untuk menjustifikasi kontrol yang semakin ketat terhadap sistem politik. Kekacauan yang ditimbulkan oleh demokrasi, dengan segala perdebatan, konflik, dan ketidakpastian yang menyertainya, diposisikan sebagai sesuatu yang harus dikendalikan.
Maka, yang kita lihat bukan lagi demokrasi yang dinamis dan kompetitif, tetapi demokrasi yang steril—yang dikontrol agar tidak melahirkan kejutan. Demokrasi yang ada tidak menghasilkan pemimpin di luar lingkaran yang telah ditentukan, dan tidak memberikan peluang bagi kekuatan baru untuk muncul.
Bagi mereka yang kini berada di puncak kekuasaan, ini bukanlah kabar buruk. Justru sebaliknya, ini adalah capaian politik yang luar biasa. Mereka telah berhasil menciptakan sistem di mana demokrasi tetap ada, tetapi tanpa risiko nyata bagi status quo. Mereka telah menemukan cara untuk memelihara ilusi pilihan, tanpa benar-benar memberikan pilihan.
Ironisnya, mereka tidak perlu menggunakan kekerasan untuk mencapai ini. Mereka hanya perlu memastikan bahwa aturan selalu bisa diubah sesuai kebutuhan mereka.
Jika ada sesuatu yang lebih berbahaya daripada otoritarianisme yang terang-terangan, itu adalah otoritarianisme yang dibungkus dengan retorika demokrasi. Dan itulah yang kini terjadi di Indonesia.
Maka, pertanyaannya bukan lagi apakah demokrasi Indonesia masih bisa bertahan, tetapi apakah kita masih bisa mengenali demokrasi ketika bentuknya telah berubah sedemikian rupa. Jika kita masih melihat pemilu sebagai bukti bahwa demokrasi masih ada, maka kita telah jatuh ke dalam jebakan yang dirancang oleh para penguasa.
Mereka tidak lagi membutuhkan larangan terhadap oposisi, karena mereka telah menemukan cara untuk memastikan bahwa oposisi tidak pernah bisa menang. Mereka tidak lagi membutuhkan sensor ketat terhadap pers, karena mereka telah menemukan cara untuk memastikan bahwa media tetap bekerja dalam batasan yang telah mereka tetapkan. Mereka tidak lagi membutuhkan kudeta, karena mereka telah menemukan cara untuk mengontrol hasil pemilu tanpa harus membatalkannya.
Ketika saat itu tiba, kita tidak akan bisa menunjuk pada satu peristiwa tertentu dan mengatakan, “Di sini demokrasi mati.” Karena demokrasi tidak mati dengan satu insiden. Ia mati dengan serangkaian perubahan kecil yang tampak sah, tampak masuk akal, tampak seolah-olah hanya bagian dari proses politik biasa. Hingga akhirnya, kita menyadari bahwa yang tersisa hanyalah prosedur tanpa makna, hukum tanpa keadilan, dan pemilu tanpa pilihan.
Maka, demokrasi tidak akan mati dengan suara ledakan. Ia akan mati dalam diam, disaksikan oleh mereka yang mengira bahwa tidak ada yang berubah—padahal segalanya telah berubah.
Dan ketika saat itu tiba, para penguasa tidak perlu melakukan apa-apa. Karena rakyat sudah percaya bahwa mereka masih hidup dalam demokrasi, meskipun yang mereka jalani hanyalah replikanya.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.