Melepas Ketergantungan Daerah dari Industri Ekstraktif

Wishnu Try Utomo dan Muhamad Saleh
Oleh Wishnu Try Utomo - Muhamad Saleh
25 Maret 2025, 09:49
Wishnu Try Utomo dan Muhamad Saleh
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah berkembang menjadi salah satu pusat industri pertambangan utama di Indonesia seiring kebijakan hilirisasi nikel. Namun, kebijakan ini juga memunculkan kekhawatiran mengenai keberlanjutan ekonomi lokal. 

Meski menghasilkan pertumbuhan ekonomi, dominasi sektor pertambangan berpotensi mengabaikan sektor-sektor penting lain bagi masyarakat Morowali, seperti pertanian, kehutanan, dan perikanan. Alhasil, perlu strategi diversifikasi ekonomi yang komprehensif untuk memastikan pembangunan berkelanjutan dan inklusif di wilayah ini.

Gemerlap aktivitas pertambangan, terutama nikel, memang memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian daerah dalam beberapa tahun terakhir. Selain Sulawesi Tengah, provinsi yang juga menerima berkah nikel adalah Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara. Ketergantungan yang terlampau besar menyebabkan kerentanan bagi keberlanjutan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Morowali dalam jangka panjang. 

Kontribusi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan terhadap PDRB Kabupaten Morowali rata-rata di bawah Rp21,5 triliun pada periode 2019-2023. Bahkan kontribusinya turun dari 4,21% pada 2019 menjadi hanya 1,72% pada 2023. 

Sebaliknya, sektor pertambangan dan penggalian memberikan kontribusi yang besar, yaitu di atas 20% sejak 2019 hingga 2022. Sedangkan sektor industri pengolahan mengalami pertumbuhan signifikan, yakni dari 62,47% pada 2019 menjadi 70,13% atau Rp59,6 triliun pada 2023.

Sektor pertambangan dan kawasan industri menjadi jangkar ekonomi utama. Hal ini sejalan dengan program hilirisasi nikel nasional yang menjadikan Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara sebagai pusatnya. 

Akibatnya, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang dulunya penting bagi masyarakat Morowali mengalami kemunduran. Kondisi ini menandakan lahan, tenaga kerja, dan area tangkap nelayan di sektor perikanan tergerus dan menyempit, karena berubah fungsi dan tercemar.

Ketergantungan pada Komoditas Tunggal

Peran nikel sebagai penopang utama pertumbuhan ekonomi di tiga provinsi penghasil nikel mungkin tidak akan berlangsung lama. Menurut Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam kajian Celios, memperkirakan cadangan nikel jenis saprolit dan limonit akan habis dalam 15 dan 34 tahun. Baru-baru ini dikabarkan, kondisi PT GNI menghadapi masalah kepastian pasokan yang mengganggu kelangsungan bisnis smelter nikel.

Kita seharusnya dapat belajar dari pengalaman industri sawit yang tertekan kampanye anti-deforestasi. Begitu pula batu bara yang popularitasnya meredup akibat transisi energi global. Sektor tunggal, seperti nikel di Morowali dan daerah penghasil lainnya, juga rentan terhadap dinamika global yang dapat merugikan perekonomian daerah. Diversifikasi ekonomi menjadi kebutuhan mendesak untuk mewujudkan masa depan yang lebih stabil dan inklusif.

Ketergantungan pada satu komoditas, seperti nikel, menghadapkan daerah pada risiko fluktuasi harga global, perubahan permintaan pasar, dan bahkan potensi penurunan produksi sumber daya alam di masa depan. Diversifikasi akan menciptakan sumber-sumber pendapatan dan lapangan kerja yang lebih beragam, sehingga mengurangi risiko guncangan ekonomi yang mungkin timbul dari sektor pertambangan. 

Salah satu tantangan utama dalam mewujudkan diversifikasi ekonomi, khususnya di Morowali adalah lanskap kebijakan nasional yang ada. Kebijakan pemerintah pusat yang menetapkan wilayah ini sebagai pusat tambang dan kawasan industri hilirisasi nikel bisa berdampak pada perekonomian daerah. Secara tidak langsung, ruang gerak pemerintah daerah menjadi terbatas dalam mengoptimalisasikan pengembangan sektor-sektor alternatif. 

Sentralisasi dan Hambatan Kewenangan

Persoalan sentralisasi kekuasaan dan keterbatasan kewenangan pada bagian ini juga menjadi isu utama. Revisi UU Pertambangan Minerba, mengalihkan kewenangan daerah dalam sektor pertambangan mineral dan batubara ke pemerintah pusat. 

Sentralisasi ini semakin diperkuat oleh UU Cipta Kerja yang menitikberatkan pada kemudahan perizinan usaha pertambangan. Di samping itu, mengurangi peran masyarakat dalam mengawasi tata kelola, termasuk dengan dihapuskannya kriteria partisipasi publik dalam analisis dampak lingkungan. 

Selain itu, Sistem Online Single Submission (OSS) tidak menyediakan ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan terhadap kebijakan perizinan. Dengan kewenangan yang terpusat ini, pemerintah pusat memegang kendali besar dalam menjaga integritas tata kelola sektor mineral kritis. 

Sentralisasi kewenangan semakin ditegaskan dalam PP No 5/2021 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan PP No 6/2021 tentang Perizinan Berusaha di Daerah. Kedua regulasi ini menerapkan model perizinan yang longgar dan terpusat tanpa mekanisme koreksi dari komunitas terdampak.

Tidak ada kejelasan mengenai jangka waktu perizinan maupun model pengawasan pemegang izin, sehingga membuka celah bagi penyalahgunaan. Dengan keterbatasan wewenang, pemerintah daerah menghadapi tantangan dalam mengawasi kepatuhan. Tingkat kepatuhan terhadap RTRW juga masih rendah, karena semua perencanaan daerah harus menyesuaikan dengan kebijakan investasi yang ditetapkan pusat

Keterbatasan kewenangan pemerintah daerah dalam menarik investasi dan merumuskan kebijakan di luar sektor pertambangan menjadi penghalang nyata. Selain itu, dengan mengembangkan sektor lain, Morowali dapat meningkatkan daya saing lokal, menarik investasi yang lebih luas, dan menciptakan nilai tambah yang lebih beragam bagi perekonomiannya. 

Daerah lain di Indonesia telah membuktikan bahwa diversifikasi dari sumber daya alam menuju sektor pariwisata, pertanian unggul, atau industri kreatif dapat membawa kemajuan ekonomi yang lebih stabil. 

Untuk menyeimbangkan model sentralisasi dan desentralisasi dalam tata kelola mineral kritis, diperlukan demokrasi tata kelola. Caranya dengan memperkuat kontrol publik dan komunitas melalui peningkatan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Langkah awal adalah evaluasi terhadap UU Cipta Kerja untuk menetapkan kembali kriteria kegiatan usaha dan membagi kewenangan kepada pemerintah daerah. 

Kemudian evaluasi PP No 5 dan No 6 Tahun 2021 juga diperlukan guna mendorong sistem perizinan yang lebih bertanggung jawab, yakni dengan mengoptimalkan peran daerah dalam aspek hak asasi manusia, lingkungan, dan ketenagakerjaan.

Regulasi tata ruang dan zonasi harus diperkuat agar kepatuhan terhadap peraturan usaha lebih terjamin. Sistem OSS juga perlu diintegrasikan dengan dokumen lingkungan dan peraturan bangunan agar tidak hanya berfungsi sebagai alat administratif, tetapi juga meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.

Daerah dan Langkah Diversifikasi 

Meskipun keterbatasan kewenangan menjadi tantangan, pemerintah daerah Kabupaten Morowali tidak sepenuhnya tanpa daya. Beberapa langkah konstruktif dapat diupayakan melalui kolaborasi dan pemikiran strategis.

Pemerintah daerah harus lebih proaktif dalam menjalin sinergi kebijakan dengan pemerintah pusat, terutama untuk merumuskan strategi yang mendukung pengembangan sektor non-tambang. Kolaborasi ini tidak hanya penting sebagai wadah komunikasi, melainkan juga sebagai langkah strategis untuk mendorong insentif fiskal, dukungan infrastruktur, dan program pelatihan guna mengembangkan keterampilan di sektor-sektor alternatif. Upaya ini sangat diperlukan untuk mengurangi ketergantungan ekonomi pada sektor tambang yang kian menunjukkan batasnya.

Lebih jauh, pemerintah daerah menyimpan potensi lokal yang masih terpendam, baik dari segi kekayaan alam maupun budaya. Pemanfaatan potensi pariwisata bahari, agrowisata melalui reklamasi lahan pasca-tambang, dan pengembangan produk kerajinan lokal yang unik harus menjadi agenda utama pengembangan ekonomi alternatif. Pendekatan ini, jika didukung dengan kebijakan yang tepat, mampu mengubah tantangan menjadi peluang, sekaligus mengoptimalkan aset lokal yang selama ini kurang dimanfaatkan.

Tidak kalah penting, pembangunan kemitraan strategis dengan sektor swasta perlu diprioritaskan untuk membuka ruang investasi di sektor non-tambang. Pemerintah daerah harus menciptakan iklim investasi yang kondusif serta memberikan kepastian regulasi guna menarik minat investor swasta. Kolaborasi semacam ini, bila dijalankan dengan sinergi dan keterbukaan, dapat 

Keberagaman ekonomi adalah fondasi yang kokoh untuk masa depan Kabupaten Morowali yang lebih sejahtera dan berkelanjutan. Melepas jangkar tunggal ketergantungan pada industri tambang nikel dan mengembangkan sektor-sektor ekonomi lainnya adalah strategi jangka panjang yang esensial. 

Dengan kolaborasi yang kuat antara pemerintah daerah, pemerintah pusat, sektor swasta, dan partisipasi aktif masyarakat, Kabupaten Morowali dapat bertransformasi menjadi daerah dengan ekonomi yang lebih inklusif, tangguh, dan berkelanjutan, melampaui gemerlap tambang nikel semata.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Wishnu Try Utomo dan Muhamad Saleh
Wishnu Try Utomo
Direktur Advokasi Tambang CELIOS

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...